KPPU di Garda Depan Edukasi Hukum Persaingan Usaha
Oleh: Retno Wiranti*
“Education or teaching in the broadest sense is any act or experience that has a formative effect on the mind, character or physical ability of an individual.”
Ingatkah kita, bagaimana kita bisa membaca, menulis dan berhitung? Ingatkah kita, bagaimana kita bisa menjadi dokter, pengacara, atau akademisi?. Tentu saja semua itu kita capai melalui edukasi, yaitu sebuah proses yang ditujukan untuk mengubah tabiat atau perilaku seseorang.
Mengubah perilaku seseorang apalagi khalayak tentu bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan proses edukasi yang menyeluruh dan melembaga. Terutama untuk mengubah perilaku yang telah tertanam sekian lama di ranah kognitif seseorang. Contohnya, pada seseorang yang telah terbiasa melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat, dibutuhkan sumbangsih yang tidak sedikit untuk mengubah persepsi dan perilaku orang tersebut.
Apalagi pada umumnya, masyarakat menganggap praktek-praktek persekongkolan dalam tender atau praktek penetapan harga adalah hal yang wajar, mereka tumbuh dan berkembang dengan praktek demikian berlaku wajar di sekitarnya. Jadi tidaklah heran, ketika Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diresmikan pemerintah Republik Indonesia, terdapat resistensi di tengah masyarakat untuk menerima substansi Undang-Undang tersebut sebagai hal yang memang wajar dan sepatutnya dilaksanakan. Disinilah peran KPPU sebagai institusi penegak Undang-Undang No.5/1999 dibutuhkan.
Lahirnya Kurikulum Hukum Persaingan Usaha
Selama satu dasawarsa, KPPU telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan edukasi mengenai hukum persaingan usaha kepada masyarakat. Upaya edukasi tersebut dilakukan dengan terintegrasi, diantaranya adalah dengan sosialisasi hukum persaingan usaha ke berbagai daerah di Indonesia, membangun jaringan yang solid dan memfasilitasi para akademisi hukum persaingan usaha dan mahasiswa, menerbitkan media berkala dan materi publikasi untuk menunjang proses edukasi, serta mengembangkan website KPPU (www.kppu.go.id) yang dapat diakses secara terbuka oleh publik.
Kalau begitu, apalagi yang masih kurang dari semua program tersebut?. Untuk bisa disebut sebagai “an Integrated Education System”, dibutuhkan juga sebuah unsur edukasi yang melembaga. Melembaga disini bukan berarti menjadikan KPPU sebagai sebuah lembaga pendidikan, melainkan bagaimana KPPU memberikan kontribusi nyata pada lembaga pendidikan di Indonesia. Sehingga pada akhirnya, resistensi masyarakat terhadap hukum persaingan usaha akan berkurang, bahkan hilang sama sekali. Karena hukum persaingan usaha tidak lagi dianggap sebagai “an alienated programme”, melainkan sebagai sebuah bidang ilmu yang patut dan menarik untuk dipelajari melalui lembaga pendidikan.
Kalangan akademisi hukum persaingan usaha sendiri, telah lama membutuhkan sebuah kodifikasi materi perkuliahan yang komprehensif dan memenuhi standar pemahaman internasional. Oleh karena itu, KPPU bekerjasama dengan Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) berkolaborasi dengan para pengajar ahli dari berbagai universitas untuk menyusun sebuah buku ajar hukum persaingan usaha yang dapat digunakan dalam proses ajar mengajar pada pendidikan tinggi lanjutan. Materi publikasi yang diberi judul “Hukum Persaingan Usaha – Antara Teks dan Konteks” adalah hasil dari kolaborasi tersebut.
Hukum Persaingan Usaha – Antara Teks dan Konteks
Apakah sesungguhnya hukum persaingan usaha itu?. Menurut buku ajar Hukum Persaingan Usaha, yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi perusahaan atau pelaku usaha di pasar, sementara tingkah laku perusahaan ketika berinteraksi dilandasi oleh motif-motif ekonomi.
Satu dasawarsa yang lalu, ketika sistem ekonomi perencanaan di Eropa Timur runtuh, banyak negara dunia ketiga yang mulai memilih kebijakan ekonomi baru. Negara berkembang semakin sering memanfaatkan instrumen seperti harga dan persaingan, demi untuk meningkatkan dinamika pembangunan di negara masing-masing.
Agar persaingan dapat berlangsung, maka kebijakan ekonomi nasional di negara berkembang harus menyediakan sejumlah prasayarat. Prasayarat pertama adalah mewujudkan pasar yang berfungsi dan adanya mekanisme harga. Pada konteks tersebut, yang dituju adalah penyediaan akses pasar yang sebebas mungkin dan mampu menyediakan insentif untuk meningkatkan jumlah pengusaha nasional. Tingkat integrasi sejumlah pasar setempat dan regional juga harus ditingkatkan melalui peningkatan infrastruktur negara.
Prasyarat kedua adalah adanya kebijakan moneter yang berorientasi stabilitas sehingga ekonomi persaingan dapat berfungsi. Hanya dengan cara inilah, maka distorsi-distorsi persaingan yang berpotensi melumpuhkan mekanisme harga dapat dihindari.
Disini kita dapat memahami mengapa dalam pasar bebas harus dicegah penguasaan pasar oleh satu, dua, atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli dan oligopoli). Karena keadaan pasar yang demikian, dapat membuka peluang bagi para penguasa pasar untuk menghindari atau mematikan mekanisme pasar, sehingga para pelaku usaha dapat menetapkan harga secara sepihak dan akhirnya malah merugikan konsumen.
Bukan hanya itu saja pelanggaran yang dapat dilakukan pelaku usaha pada pasar monopoli dan oligopoli. Mereka juga dapat membuat berbagai kesepakatan untuk membagi wilayah pemasaran, mengatur kualitas produk/jasa, dan kuantitas produk/jasa yang ditawarkan untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dalam waktu relatif singkat. Jenis tindakan ini biasa kita kenal dengan istilah Kartel.
Persaingan di antara para pelaku usaha sendiri dapat terjadi secara curang (unfair competition) sehingga merugikan konsumen, bahkan merugikan negara. Jika dibayangkan, rasanya akan seperti menonton pertandingan tinju yang membabi buta, namun tanpa wasit yang mengatur jalannya pertandingan, hingga akhirnya pertarungan para petinju tersebut justru melukai penonton dan merugikan penyelenggara pertandingan. Karena itulah wasit -atau dalam hal ini pengaturan hukum- sangat dibutuhkan untuk menjamin terselenggaranya pasar bebas secara adil.
Negara kita sendiri baru memiliki hukum persaingan usaha pada tanggal 5 Maret 1999, kala itu Presiden B.J Habibie yang menandatanganinya, sebagai tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional.
Perundang-undangan antimonopoli Indonesia tidak bertujuan melindungi persaingan usaha demi kepentingan persaingan itu sendiri. Melainkan bertujuan untuk membentuk sistem persaingan usaha yang bebas dan adil, dimana terdapat kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku
usaha, serta menghilangkan perjanjian atau penggabungan usaha yang menghambat persaingan dan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan ekonomi. Dengan demikian, semua pelaku usaha akan memiliki ruang gerak yang luas dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Selain itu, kebijakan persaingan usaha juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi. Efisiensi tersebut berhubungan dengan penggunaan sumber daya, baik hari ini maupun masa yang akan datang. Proses produksi yang efisien, berarti menggunakan manusia, mesin, bahan mentah dan bahan lainnya untuk memproduksi output terbesar yang bisa mereka hasilkan. Sehingga insentif dari efisiensi tersebut, dapat digunakan untuk inovasi yang akan menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik di masa depan.
Efisiensi juga dapat meningkatkan kekayaan, termasuk kekayaan konsumen karena penggunaan sumber daya yang lebih baik. Dengan proses produksi yang efisien, maka suatu perusahaan dapat menghasilkan mutu barang yang baik dalam jumlah banyak, sehingga perusahaan tidak perlu menaikkan harga barang dan konsumen pun diuntungkan.
Bagi negara kita, tujuan persaingan usaha tidak hanya memberikan kesejahteraan kepada konsumen, namun juga memberikan manfaat bagi publik. Dengan adanya kesejahteraan konsumen, maka akan berdampak pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulan
Menilik penjelasan di atas, bukankah kita bisa melihat betapa besarnya manfaat persaingan usaha yang sehat?. Manfaat inilah yang berusaha disosialisasikan KPPU kepada publik, terkait dengan perannya sebagai institusi penegak hukum persaingan usaha.
Setelah ratusan sosialisasi ke berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia, setelah ribuan eksemplar materi cetak KPPU yang disebarkan ke penjuru negara. Tentu bukanlah hal yang muluk jika sekarang lembaga ini menginginkan proses edukasi yang melembaga.
KPPU sendiri menyadari, bahwa Buku Ajar Hukum Persaingan Usaha hanyalah satu dari sekian banyak organ bagi upaya pembentukan kurikulum hukum persaingan usaha. Itu sebabnya, langkah belum terhenti, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan institusi ini untuk membuktikan komitmennya sebagai garda terdepan edukasi hukum persaingan usaha. Bersama para akademisi yang commit pada misi ini, kerja keras baru dimulai Bung!.
*Retno Wiranti, S.Sos adalah Staf Bagian Kerjasama Kelembagaan dan Publikasi, Biro Humas dan Hukum KPPU-RI.