KPPU: Sektor Manufaktur dan Perbankan Tidak Kompetitif
JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merilis indeks persaingan usaha di sektor manufaktur, perbankan, dan regulasi Indonesia dengan skor di bawah 0,5, yang artinya masih tidak kompetitif.
Kepala KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, tingkat persaingan usaha sektor manufaktur di Indonesia masih lebih rendah dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ia menilai model bisnis integrasi hulu-hilir yang dipakai kebanyakan pengusaha Indonesia menjadi penyebabnya. Berbeda dengan negara lain, seperti Jepang yang menerapkan pola kemitraan dengan pengusaha kecil sebagai pemasok perusahaan besar.
“Di Jepang, industri otomotif banyak pemainnya seperti Mitsubisi, Daihatsu, Toyota, Nisan, dan Honda. Mereka berbisnis tidak menggunakan model integrasi hulu ke hilir, melainkan kemitraan yang memasok komponen otomotif. Japan fair trade commission mencatat kebanyakan struktur pasar di sana 30% dikuasai pelaku usaha besar dan sisanya 70% oleh pelaku usaha kecil. Di kita susah menghindari model integrasi hulu dan hilir karena transaction cost satu perusahaan dengan perusahaan lain yang sangat mahal karena memang design regulasinya seperti itu. Hampir di semua lini bisnis, regulasi menjadi hambatan,” papar dia, di Jakarta, Selasa (9/8).
Di sektor perbankan, secara struktur masih terkonsentrasi pada 4 perbankan buku IV yang menguasai sekitar 30-40% aset perbankan nasional. Dan, sekitar 14 bank buku III dan IV menguasai sekitar 70% aset perbankan nasional.
“BI dalam rilisnya bahkan menyebut karakteristik industri perbankan monopolitik, dimana jumlah pemain yang banyak produknya heterogan, makanya mereka bisa abuse terhadap produknya masing-masing. Di satu sisi, rencana holdingisasi 4 perbankan BUMN bisa berujung pada penguasaan pasar yang semakin (besar) dan bisa saja memperburuk persaingan usaha,” kata dia.
Di sektor peraturan, kualitasnya masih rendah. Artinya pemerintah lewat paket deregulasi harus lebih fokus pada perbaikan regulasi. Ia mencontohkan, hampir semua sektor memiliki tarif bawah baik industri airline, asuransi maupun pemda. Padahal, ini menjadi disinsentif bagi pengusaha untuk melakukan inovasi dan efisiensi.
“Untuk memperkuat regulasi, KPPU memiliki competition checklist atau daftar periksa persaingan, yang kami harapkan bisa diperkuat dalam payung Perpres. Memang kami kira perlu ada regulatory review baik UU, Perpes, Permen, maupun Pergub harus direview,” kata Syarkawi.
Ditambahkan, perlu ada perbaikan struktur pasar dengan mendorong munculnya pemain baru di sektor strategis agar penguasaan pasar relatif menyebar. Menurutnya, dalam 10 tahun terakhir PDB telah tumbuh sekitar Rp 10.000 triliun namun hanya dinikmati beberapa pemain besar. “Juga perlu mendorong behavioral pengusaha besar agar tidak berperilaku amnesti pajak,” kata dia.
Dia berharap, lewat market structural reform, behavioral reform dan regulatory bisa membuat indeks persaingan usaha di Indonesia naik ke level 0,6 dalam 3 tahun ke depan.
Ekonom UI Faisal Basri mengatakan, beberapa poin dalam persaingan usaha perlu diperbaiki. Menurutnya KPPU tidak dapat asal memintah hak tambahan sebelum melakukan revisi substansi undang-undang persaingan usaha. Beberapa pasal di UU tersebut ada yang tidak sesuai dengan hukum ekonomi di negeri ini.
“Lembaga (KPPU) jangan asal minta kewenangan kalau tidak ada perbaikan substansi. Karena kewenangan itu adalah konsekuensi setelah diubahnya substansi,” kata dia belum lama ini.
Salah satu substansi yang harus diamendemen, lanjutnya, adalah Pasal 50 UU No.5 Tahun 1999 yang menyebut koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) dikecualikan dari aturan persaingan usaha tidak sehat. Faisal menilai KPPU sudah saatnya membereskan undang-undang tersebut. “Memangnya bisa UKM dan koperasi melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat? Pasarnya saja kecil. Substansi seperti ini yang harus diubah,” papar Faisal.
Sumber: Berita Satu