"Dokter Tak Berwenang Menaikkan Harga Obat"

dr. Nova Riyanti Yusuf SpKJ
Dokter,  Penulis, dan Politisi


Muda, cantik dan berprestasi. Inilah sosok ideal yang diidamkan banyak orang. Cukup? Belum. Ia juga multi talenta. Sosok cantik Noriyu atau nama lengkapnya Nova Riyanti Yusuf, memang begitu sempurna. Ia berhasil mencuri perhatian publik dengan tulisan-tulisannya. Beberapa novel best seller-nya mampu mencuri perhatian pembaca. Tidak sedikit yang mendapuknya sejajar dengan novelis ternama lainnya.
Saat remaja ia berhasil menyabet banyak juara di olahraga Tenis. Ia juga seorang psikiater yang sabar mendengar keluh kesah pasiennya. Terakhir, ia duduk sebagai politisi. Dunia yang bisa jadi tidak pernah terbersit dalam obsesi mudanya.
Menjadi penulis, dokter (psikiater) dan politisi bukanlah wilayah privat. Bahkan tiga profesi tersebut sepenuhnya ”milik publik”. Kini dapatkah ”arena” itu dikuasai Noriyu dengan mulus tanpa ”interupsi? Sebab sebagai penulis bisa jadi ia mampu mengendalikan ”kapan karya-karya akan terbit”. Tetapi sebagai dokter dan politisi, sebenarnya ia bisa dikendalikan dan ”dituntut” oleh ”pasien” dan ”konstituen”nya.
Perjumpaan Noriyu dengan politik memang tidak disengaja. Saat membuka praktek dokter di Universitas Paramadina, Cak Nur (Kakak Noriyu) yang aktif dalam konvensi Partai Golkar sedang bertugas di Kampus tersebut. Universitas Paramadina saat itu sangat aktif menyelenggarakan seminar-seminar di sekitar isu politik. Suasana itu membuat dirinya terpanggil untuk terjun di politik. “Terbitnya buku saya yang berjudul Mahadewa Mahadewi tahun 2003 membuat saya bertemu dengan banyak politisi” kata penulis yang pernah mengenyam pendidikan di The Writing Singapore tahun 1995.
Sejak itu nama Novariyanti Yusuf banyak diekspose oleh media. “Saya mendapatkan banyak  exposure media seperti BBC London” tuturnya bangga. Dan saat saya tengah mengambil program spesialisasi ilmu kedokteran jiwa di FKUI, saya direkrut oleh Anas Urbaningrum dalam kepengurusan DPP Partai Demokrat bidang politik, namun saya tetap sibuk sekolah spesialis dan menulis”, ujarnya.
Agaknya Noriyu berhasil menyatukan tiga tugasnya secara bersamaan. Setidaknya saat dikonfirmasi untuk wawancara Majalah Kompetisi, anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Demokrat ini tengah berbaur dengan konstituennya. Namun di tengah kesibukannya ia berhasil mencuri waktu untuk menulis. Buku kumpulan essainya; Libido Junkie: a Memoir for the Radicals yang diterbitkan Gagas Media Tahun 2005 lahir di sela-sela prakteknya sebagai dokter jiwa.
Sebagai dokter, Noriyu mengakui bahwa harga obat memang mahal. Namun ia menolak jika kenyataan ini jadi lelucon. Istilah  “orang miskin dilarang sakit” tidak jelas katanya. “Sebab orang kaya juga kalau sudah sakit akan mengalami nasib serupa” tutur wanita jebolan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) ini. Karena itu ia meminta agar eksekutif jujur dan terbuka menjelaskan keadaan ini. Politisi dari Partai Demokrat ini mengakui salah satu penyebab mahalnya biaya obat dan rumah sakit adalah karena adanya  praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
“Tahun lalu Menteri Kesehatan melarang kenaikan harga obat. Ini perlu diacungi jempol”,  katanya.  Tetapi harus lebih saklek (tegas) untuk mampu menekan bisnis obat yang mahal. Artinya sampai kapan bisa melarang terus, yang jelas harus ada pembenahan “penyebab” harga obat mahal.
Sebagai dokter ia mengakui dokter memiliki kuasa untuk membuat resep. Tidak aneh banyak dokter yang ditumpangi kepentingan bisnis. Namun putri mantan bankir ini melakukan hal sebaliknya. “Dulu waktu saya praktik, saya malah minta harga obat yang lebih murah ke medical representation. Jadi saya bisa jual langsung ke pasien dengan harga lebih murah dari apotik” jelasnya. Jadi meski dokter punya kuasa memberi resep namun ia tidak bisa menaikkan harga obat. “Produsen obatlah yang memiliki wewenang menaikkan harga obat”  tukasnya.
Karena itu istilah “dorkus” (dokter rakus), hanya istilah sindiran bukan kenyataan. Stigma yang menganggap dokter selalu mencari keuntungan, dimana masyarakat menilai dokter lebih suka memberikan resep obat yang lebih mahal, bukan obat generik. Kadang dokter juga meminta bayaran atau jasa yang dirasa sangat mahal.
Sepak terjang Noriyu sebagai wakil rakyat memang tidak setengah-setengah. Terbukti ia menjadi anggota panitia kerja (Panja) MDGs dan panitia khusus (Pansus) RUU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). “Namun ada satu indikator perjuangan yang khusus, yaitu mengenai Kesehatan Jiwa (Keswa)” papar penulis novel Mahadewa Mahadewi.
Menurutnya kesehatan jiwa masih belum menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJM). Buktinya anggaran tahun 2009-2014 masih minim belum mencapai target minimal 5% meski ada kenaikan anggaran keswa dari 9.5 Milyar menjadi 22 Milyar”. “Saya rajin menyampaikan usulan ini dalam setiap Raker dengan Menkes” pungkasnya. (Redaksi)