Pengembangan Sektor Migas dari Sudut Persaingan Usaha

Pengembangan Sektor Migas dari Sudut Persaingan Usaha

Persaingan bukanlah hal yang asing dalam perkembangan sektor migas, bahkan sektor migas mempunyai keterkaitan yang erat dengan persaingan terutama dengan munculnya hukum persaingan.

Hal ini dimulai sejak terbentuknya Standard Oil Company tahun 1870 oleh John D Rockefeller yang menggabungkan para shareholder migas dalam bentuk ”trust” dan menjadi perusahaan yang terbesar melalui skala ekonomi yang besar. Bentuk monopoli ini memicu adanya bentuk trust lainnya yang juga melakukan praktek monopoli. Trust yang dibentuk tersebut merupakan wadah yang meniadakan persaingan antar pelaku bisnis. Bentuk ini kemudian mendorong diberlakukannya hukum Antitrust dalam bentuk Sherman Antitrust Act (1890) sebagai hukum persaingan yang melarang berbagai praktek anti persaingan.

Dalam perkembangannya, setelah melalui berbagai tuntutan, maka Standar Oil Trust dipecah dan melahirkan banyak perusahan baru yang bergerak pada masing-masing segmen industri yang terpisah satu sama lain (unbundling). Perkembangan ini turut mempengaruhi berbagai perubahan struktur migas di berbagai negara termasuk di Indonesia.

Kebijakan Persaingan Migas di Indonesia

Kebijakan persaingan di Indonesia ditandai dengan disahkannya UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas bumi yang menggantikan UU No.8/1971, dimana mulai terbukanya peran serta swasta dalam industri ini, serta berubahnya peran serta Pertamina dari satu-satunya pelaku usaha tunggal di sektor ini. Perubahan ini tidak hanya dipicu dari berbagai alasan efisiensi namun juga upaya untuk memaksimalkan pengelolaan migas yang dapat memberikan kemakmuran sebesar besarnya bagi masyarakat.

Di sisi hulu, arah kebijakan persaingan telah membuka peluang yang besar bagi pelaku usaha. Hal ini lebih dikarenakan karakteristik industri hulu yang high technology, dan membutuhkan high capital. Terlebih lagi, dengan semakin menurunnya jumlah produksi migas nasional, sehingga semakin diperlukan investasi-investasi baru di sisi hulu migas. Demikian pula di sisi hilir, pembukaan pasar hilir, diharapkan menyebabkan semakin banyaknya pilihan dan perbaikan kualitas yang berujung pada kemajuan efisiensi di sisi hilir.

Namun bentuk perubahan paradigma ini tidak serta merta diterima, terbukti dengan adanya upaya untuk merevisi UU No. 22/2001 karena dinilai terlalu liberal dan tidak berpihak pada kepentingan negara. Perbedaan pendapat ini berakhir dengan adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Migas dengan mencabut pasal yang menjadi dasar yang diperlukan untuk diberlakukannya mekanisme persaingan usaha.

Pencabutan tersebut secara tidak langsung telah membiaskan arah kebijakan persaingan di sektor migas dimana di satu sisi pemerintah membuat keputusan untuk membuka pasar, namun di saat yang bersamaan mengambil alih fungsi pengendalian harga yang membuat persaingan tidak terjadi di sektor ini. Namun demikian, di sisi lain, walaupun pemerintah memang berhak untuk menentukan arah kebijakan yang melindungi rakyat, ketidakpastian berusaha tetap perlu dijamin agar membuka peluang bagi pelaku usaha potensial yang hendak masuk.

Akibat Kebijakan Persaingan Migas

Perubahan arah kebijakan persaingan migas mempunyai dampak pada iklim usaha hulu dan hilir migas. Di sisi hulu migas, perubahan kebijakan migas yang terkandung dalam UU No. 22/2001 dinilai kurang memberikan nilai tambah baik pada industri migas nasional maupun pada pendapatan negara. UU Migas No. 22/2001 dinilai belum membuat iklim usaha sektor hulu menjadi menarik karena proses investasi menjadi lebih birokratis, pembebanan pajak meskipun belum berproduksi, dan pertentangan dengan prinsip Production Sharing Contract.

Di sisi hilir migas, perubahan arah kebijakan membuat bertambahnya pelaku usaha hilir, sehingga meningkatkan berbagai bentuk pilihan, menciptakan harga yang kompetitif, dan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen. Sebagai gambaran, pada bulan Juli 2006 untuk sisi pendistribusian BBM Non Subsidi, telah terjadi persaingan antara Pertamina, Shell, dan Petronas terkait dengan harga mereka yang cukup kompetitif.

Selain di sisi harga, persaingan terjadi dalam bentuk kualitas pelayanan oleh Petronas dan Shell seperti adanya tambahan jasa pembersihan mobil, minimarket, serta SPBU yang nyaman dan transparan, yang kemudian konsep ini juga dilakukan oleh Pertamina sebagai bentuk upaya kompetisinya.

Kondisi ini nyaris tidak dapat dijumpai saat ini pada BBM Subsidi, selain dikarenakan besarnya perbedaan antara harga BBM Subsidi dengan BBM Non Subsidi akibat kenaikan harga minyak dunia, juga karena pasar BBM Non Subsidi yang dinilai kurang menarik karena konsumsi 70% BBM di Indonesia masih berupa BBM bersubsidi.

Hal yang menarik juga dapat dilihat pada subsektor Elpiji, dimana nyaris tidak terdapat pelaku usaha baru yang masuk di pasar tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa Elpiji merupakan gas hasil produksi dari kilang minyak atau kilang gas, yang komponen utamanya adalah gas propane (C3H8) dan butane (C4H10) yang dicairkan. Dalam industri pengolahannya terdapat dua kelompok besar pasar pengolahan LPG, yaitu hasil pengolahan elpiji oleh kilang migas KPS (yang disalurkan untuk ekspor) dan pasar domestik sepenuhnya ditangani oleh PT Pertamina (baik yang berasal dari impor, hasil produksi sendiri, maupun beberapa yang berasal dari hasil KPS). Akibat kondisi tersebut, tidak terdapat persaingan dalam upaya menyuplai elpiji hasil pengolahan ke dalam pasar. Selain itu, keberadaan isu subsidi oleh PT. Pertamina dalam pengolahan Elpiji 12 kg juga menimbulkan keberatan bagi pelaku usaha baru untuk masuk.

Khusus untuk elpiji, kebijakan yang diambil oleh pemerintah dinilai belum efisien untuk diterapkan dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan oleh pada masa awal kebijakan elpiji dimulai, segmentasi pasar elpiji merupakan konsumen menengah ke atas seiring terbatasnya sumber daya elpiji tersebut. Namun dengan adanya kebijakan yang memaksakan konversi energi ke arah elpiji, otomatis menimbulkan ketergantungan energi pada sisi impor. Dengan demikian, akan tidak mengherankan apabila saat ini trend nilai import elpiji cenderung mengalami peningkatan.

Isu Penentuan Harga Oleh Pelaku Usaha

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana sebelumnya, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa harga seluruh Bahan Bakar Minyak (BBM) dan turunannya harus ditetapkan oleh Pemerintah. Namun fakta menunjukkan bahwa Pemerintah hanya menetapkan harga BBM yang dikategorikan sebagai BBM bersubsidi yang ditujukan bagi konsumen non-industri seperti Premium, Solar dan Minyak Tanah. Sementara untuk terdapat beberapa jenis BBM non-subsidi (seperti avtur, solar industri, dan BBM beroktan tinggi), penetapan harganya diserahkan kepada mekanisme pasar. Sedangkan bagi produk elpiji, penetapan harganya dilakukan oleh Pertamina.

Dalam hal inilah maka terdapat inkonsistensi regulasi dalam penetapan harga minyak dan gas bumi. Apabila mengacu kepada UU No. 22 Tahun 2001 maka definisi bahan bakar minyak dengan tegas dan jelas diuraikan sebagai Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi. Sementara definisi gas bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan dua definisi ini, maka dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengembalikan penetapan harga kepada Pemerintah, seluruh harga BBM dan Gas Bumi seharusnya ditetapkan oleh Pemerintah.

Kesimpulan

Dengan adanya perubahan kebijakan ke arah persaingan dalam industri migas, mendorong pelaku usaha untuk lebih melakukan efisiensi dan perbaikan baik dari sisi operasional maupun dari sisi pemasaran. Pada prinsipnya persaingan bukanlah hal yang menakutkan, namun lebih pada dorongan untuk melakukan perbaikan demi meningkatkan kinerja industri migas.

KPPU sendiri mendukung setiap langkah yang disusun pemerintah dalam industri ini, walaupun memang kondisi faktual menunjukkan bentuk kebijakan yang ada belum sepenuhnya mendorong persaingan sehingga dapat berdampak pada iklim usaha di sektor migas. Untuk itu KPPU mendorong agar pemerintah dapat membuat langkah yang lebih nyata mengenai tahapan pengembangan industri migas dengan tetap mempertimbangkan persaingan usaha sebagai salah satu instrumen dalam menjamin kesempatan berusaha bagi setiap pelaku usaha dan secara umum menciptakan efisiensi pasar. Harmonisasi antar setiap lembaga yang terlibat dalam kebijakan industri migas tersebut, tetap diperlukan dalam upaya penciptaan kebijakan yang lebih baik dan pada akhirnya dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyat pada umumnya.