Comparisons of Competition Regimes in ASEAN
Sesi 5 dalam ASEAN Competition Conference bertema “Comparisons of Competition Regimes in ASEAN” dengan pembicara Lim Chong Kin (Drew and Napier, Singapore), Prof. Ningrum Sirait (Universitas Sumatera Utara), Mochamad Fachri (Hadiputranto, Hadinoto & Partners, Indonesia), dan Ahmad Junaidi (KPPU). Discussant dan moderator adalah Dr. Hye-Lim Jang (Director of Task Force for Reforming Anti-Competitive Regulations, KFTC).
Lim Chong Kin menyampaikan pengamatan umum atas kurangnya konsistensi dalam hukum persaingan usaha di ASEAN. Sebagai bukti dari pengamatan tersebut, ada beberapa contoh perbedaan dalam kaitannya dengan pendekatan analitis dan aspek substansi hukum persaingan. Contohnya, Malaysia memasukkan perjanjian vertikal dalam perjanjian yang dilarang, sementara Singapura tidak mengkategorikannya sebagai perjanjian maupun praktek yang dilarang, dan untuk memutuskan pelaku usaha memiliki posisi dominan, negara tersebut memiliki tiga ambang batas yang mencerminkan kondisi perekonomiannya. Perbedaan yang lain adalah menentukan ruang lingkup lembaga, terutama dalam mendistribusikan fungsi dan kekuasaan antara lembaga persaingan dengan pengadilan, yaitu sebagian negara menjalankan fungsi ganda sebagai investigator sekaligus adjucator, dan sebagian membagi tanggung jawab antara kekuasaan (investigasi) dengan pengadilan (pengambilan keputusan).
Ahmad Junaidi, menggambarkan fakta bahwa semua lembaga persaingan di ASEAN adalah bagian dari cabang dari pemerintah, baik merupakan lembaga negara maupun departemen di bawah kementerian. Keunikan lembaga ini adalah mereka terbebas dari intervensi pemerintah dan pengaruh pelaku usaha dalam pengambilan keputusan, yang merupakan elemen penting untuk membangun kredibilitas dan dukungan publik. Sejalan dengan persamaan ini, ada perbedaan struktural dalam ruang lingkup institusional di antara lembaga-lembaga tersebut. Dalam kaitannya dengan laporan pertanggungjawaban, Malaysia Competition Commission dan KPPU melaporkan pada presiden maupun perdana menteri, sementara lembaga lain melaporkan pada kementerian yang berwenang, seperti kementerian perdagangan dan industri. Lembaga juga mengadopsi pendekatan yang berbeda dalam menjalankan fungsi dan kekuasaannya melalui investigasi dan proses pengadilan.
Prof. Ningrum Sirait menyatakan bahwa respon mengenai hukum dan kebijakan persaingan berbeda antar tiap negara. Hal ini bisa disebabkan karena perbedaan sejarah. Beberapa negara mengadopsi hukum dan kebijakan ini secara sukarela, dan lainnya mengadopsi karena tujuan tertentu, seperti reformasi hukum, mengakhiri krisis ekonomi, dan komitmen untuk konsensus perdagangan bebas. Kekuasaan yang multifungsi yaitu menginvestigasi sekaligus menjatuhkan putusan atas tindakan pelanggaran hukum persaingan menjadikannya tantangan yang berat bagi lembaga persaingan, terutama jika kompetensi mereka diragukan. Ada pertanyaan yang umum diajukan kepada lembaga persaingan yang baru dibentuk, terutama berkaitan dengan mekanisme prosedural, ketidakmampuan merespon semua keluhan, penalti dan kerugian yang ditimbulkan, dan bagaimana mendapatkan kepercayaan dari pelaku usaha. Sebagai tantangan yang lain adalah kurangnya kemampuan hakim untuk memahami tentang persaingan usaha.
Dari perspektif praktisi privat, Mochamad Fachri mempresentasikan analisis persaingan dari rezim kontrol merger di ASEAN. Sistem kontrol merger di Indonesia berdasarkan pada aset atau turnover, sementara Singapura dan Vietnam berdasarkan tingkat market share. Mengenai timing dilakukannya notifikasi, Indonesia menganut sistem post-notification, sementara Singapura mencontoh sistem United Kingdom, dimana kapan dilakukannya notifikasi diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang melakukan merger. Hanya Indonesia yang mengenakan denda apabila pihak yang melakukan merger tidak melaporkan kegiatan mergernya, sementara empat negara anggota lainnya dengan kontrol merger dapat memberikan penalti jika merger yang dilakukan mengakibatkan perilaku anti-persaingan di pasar. Bagaimanapun, perbandingan ini tidak terlalu mengakibatkan perbedaan dalam analisis merger di tiap negara. Kebalikannya, setiap rezim kontrol merger mengikuti ruang lingkup analisis ekonomi yang sama, karena sistem revier merger adalah sama secara substansi. Sebagai kesimpulan, adalah penting untuk mengharmonisasikan prosedur sistem kontrol merger dalam rangka mengurangi compliance cost bagi pelaku usaha.