Algoritma vs Persaingan Usaha

Algoritma vs Persaingan Usaha

Indonesia saat ini berada pada garis ekonomi digital terbesar se-Asia Tenggara. Hal ini tidak dipungkiri dari populasi Indonesia yang besar, serta tingginya akses telekomunikasi dan informasi di Negeri ini. Ketua KPPU Kodrat Wibowo membuka seminar daring bertajuk Algoritma vs Persaingan Usaha pada 2 Maret 2021 dan menyatakan bahwa merujuk pada data BPS, sebesar 99,64% pelaku usaha di Indonesia telah memanfaatkan teknologi dan e-Commerce dalam usaha mereka. Baik dalam bentuk pemasaran, logistik, produksi, dan sebagainya. “Ada proyeksi pertumbuhan e-Commerce di Indonesia pada tahun 2025 sebesar 290,5%. Di sini, KPPU sudah bersiap sejak awal. Selain pengetatan penegakan hukum, juga dari sisi advokasi kepada pelaku usaha,” katanya. Kodrat juga menyampaikan bahwa pada tahun 2021, tren merger dan akuisisi lebih banyak dilakukan oleh perusahaan tech titan, yang menunjukan bahwa Indonesia sudah dalam suasana usaha yang menggunakan teknologi digital.

Seminar daring ini dihadiri oleh Anggota KPPU Ukay Karyadi dan akademisi berbagai kampus ternama seperti Dr. Eng. Adi Wibowo, S.Si., M.Kom. (Departemen Informatika, Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro), Dr. Jur. Sih Yuliana Wahyuningtyas, S.H., M.Hum. (Fakultas Hukum Unika Atma Jaya) dan Dr.rer.pol. Hamzah Ritchi, S.E., M.BIT., Ak. (Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran), dengan Direktur Ekonomi KPPU M. Zulfirmansyah selaku moderator.

Dalam paparannya, Ukay menyampaikan karakteristik utama pasar digital adalah multi-sided market, di mana suatu platform ekonomi melibatkan dua atau lebih grup pengguna berbeda yang dipertemukan oleh suatu platform ekonomi. Jadi pasarnya ada di berbagai sisi atau bertumpuk, oleh karena itu disebut multi-sided market. Dua grup konsumen dikarakteristikan sebagai para pencari jasa dan para penyedia jasa. Keberadaan platform dan pasar yang multi-sided menjadikan penilaian persaingan usaha dalam ekonomi digital berbeda dibandingkan dengan sektor usaha konvensional. Relevan market tidak lagi bisa digambarkan secara konvensional. Secara geografis sudah sulit digambarkan, produk pun bearagam.

Dari sisi ekosistemnya, atau model persaingan di platform digital tidak berdiri sendiri jadi market place terkait dengan media-media sosial lainnya. Di mana semuanya memiliki big data dan networking. Sosial media, marketplace, search engine, payment system, dan video sharing seluruhnya merekam data aktivitas dari penggunanya yang dapat menghasilkan preferensi konsumen. Data yang mereka miliki dapat meningkatkan jaringan diantara platform, misalnya konsumen dapat mengakses marketplace melalui search engine maupun social media dan video sharing. Google memiliki layanan perbandingan harga (Google shopping) yang dapat menyambungkan konsumen dengan merchant di marketplace. Semakin banyak data dan jaringan yang dimiliki, semakin besar kekuatan pasar yang dimiliki oleh platform tersebut.

Dari struktur pasarnya, ekonomi digital memiliki pasar yang sangat dinamis dan produk/layanan yang variatif. Pasar geografis yang rold wide di mana aksesnya tidak terbatas dan dapat dilakukan oleh seluruh orang di dunia. Analisis penentuan pasar bersangkutan di sektor ekonomi digital berbeda dengan industri konvensional, terutama pada dimensi pasar geografis tidak lagi memperhitungkn jarak namun menggunakan pendekatan lain seperti biaya logistik yang dikeluarkan untuk mengirimkan barang dan waktu yang dibutuhkan agar barang tersebut sampai ke tangan konsumen. Isu-isu persaingan yang akan muncul yaitu digital monopoli di mana akan menghambat persaingan dan inovasi, selain itu juga dapat memonopoli pasar yang lain serta ada kemungkinan untuk melakukan lock in. Semua itu mengarah ke perilaku persaingan usaha tidak sehat.

Peran KPPU pada Era Ekonomi Digital adalah untuk mencegah praktik monopoli dan/atau persingan usaha tidak sehat yang berupa :

  1. Perilaku Diskriminasi : Pemberian fasilitas tertentu untuk dapat masuk pasar dan/atau dalam pengembangan inovasi kepada platform lain yang terintegrasi;
  2. Eksploitasi dari platform ke supplier atau antar platform;
  3. Perjanjian eksklusif untuk menciptakan pasar dalam satu integrasi platform;
  4. Perilaku predatory ricing : dengan jenis barang atau jasa yang diperdagangkan sangat beragam dan dispersi harga yang sangat rendah;
  5. Penyalahgunaan posisi dominan : perilaku dari dominan provider yang melakukan lock in kepada konsumen;
  6. Perilaku pre-emptive merger : di mana provider besar melakukan akuisisi kepada perusahaan kecil/start-up yang memiliki inovasi yang berpotensi menjadi pesaingnya;
  7. Perilaku kartel : berakhirnya masa “bakar uang” menjadikan beberapa platform mulai menetapkan harga kepada penggunanya.

Peran KPPU sebagaimana lembaga persaingan usaha yang memiliki 2 tugas pokok yaitu penegakan hukum begitupun dalam ekonomi digital dan juga fungsi pencegahanm ekonomi digital pun sama, dilakukan advokasi dan beberapa saran dan pertimbangan KPPU kepada Pemerintah terkait ekonomi digital ini disambut baik oleh Pemerintah. Misalnya saja Surat Saran dan Pertimbangan KPPU kepada Kementerian Perhubungan terkait pengaturan transportasi berbasis aplikasi (Nomor 70 Tahun 2017 dan Nomor 25 tahun 2019) dan Surat Saran dan Pertimbangan KPPU No.87 Tahun 2019 kepada Kementerian Perhubungan tentang Draft Peraturan Menteri Perhubungan tentang perubahan pengaturan transportasi sepeda motor berbasis apilkasi.

Menurut Yuliana dalam pembahasan Algoritma dan Potensi Perilaku Anti Persaingan di Pasar Digital dari Aspek Hukum, ketika berbicara tentang pelanggaraan, atau potensi pelanggaran dan dampak anti persaingan karena penggunaan algoritma, kemudian akan muncul argumentasi : “it wasn’t me, it was the algorithm!”, yang artinya bukan saya tetapi telah diatur dari sistem algoritma. Dengan adanya algoritma menjadi sebuah permasalahan yang baru, karena akan kesulitan untuk menemukan titik permasalahan dari sistem tersebut. Apakah itu kesalahan programmer, creator, atau user-nya dari sistem algoritma tersebut.

Algoritma dapat memfasilitasi koordinasi, yang berarti penggunaan algoritma bertujuan untuk mengumpulkan beberapa data atau informasi, sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan, contoh: penggunaan algoritma untuk memfasilitasi pertemuan di hari ini. Pada faktanya, algoritma mendorong transparansi atau keterbukaan, dan akan menjadi keuntungan bagi para konsumen. Ketika harga jual diinformasikan secara terbuka dan dapat diakses oleh para konsumen, maka akan menjadi peluang untuk memilih atau membandingkan harga yang ditawarkan oleh para pelaku usaha, contoh: perbandingan harga barang X yang ditawarkan Perusahaan A dan B. Di samping menguntungkan bagi para konsumen, juga akan menjadi keuntungan bagi para produsen atau para pelaku usaha. Ketika harga dapat diakses oleh para konsumen, maka para pelaku usaha akan segera menyesuaikan harga sesuai dengan harga yang diinginkan oleh para konsumen. Tetapi dalam praktek di lapangan, penggunaan algoritma sering dipersalahgunakan oleh para pelaku usaha. Ketika data atau informasi mengenai pilihan harga mayoritas yang dipilih oleh para calon konsumen telah tersebar, maka para pelaku usaha akan menyesuaikan harga yang sama sesuai dengan pilihan harga konsumen. Sehingga informasi dari sistem algoritma dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang tidak sehat, diakibatkan tidak adanya persaingan harga yang ditawarkan oleh para pelaku usaha.

Dalam pembuktian di lapangan, otoritas persaingan usaha sering mendapatkan permasalahan dalam menentukan, ada atau tidaknya pelanggaran persaingan usaha yang terjadi pada pasar bersangkutan. Seperti yang diketahui di dalam UU No. 5 Tahun 1999, Kartel merupakan perjanjian dilarang yang dilakukan oleh para pelaku usaha, untuk mengatur tingkat pasokan dan harga barang/jasa di pasar tersebut. Tetapi untuk membuktikan ada atau tidaknya kartel pada industri ekonomi digital, sangat sulit untuk dibuktikan. Para pelaku usaha akan memberikan alasan, bahwa mereka melakukan perubahan harga untuk menyesuaikan dengan data atau informasi mengenai tingkat harga yang diinginkan oleh para konsumen. Sehingga ke depannya perlu adanya pembaharuan mengenai hukum persaingan usaha di industri ekonomi digital. Dimulai dari penelitian yang dilakukan oleh KPPU, melalui kajian atau jurnal ekonomi digital. Dengan tujuan untuk menemukan fakta atau informasi di lapangan mengenai persaingan di industri ekonomi digital. Dalam Penegakan Hukum, sebaiknya dilakukan pembaharuan mengenai isi atau bunyi dari pasal-pasal di dalam UU No. 5 Tahun 1999, yang tidak relevan atau berpengaruh signifikan terhadap industri ekonomi digital. Tetapi hal tersebut, memerlukan waktu yang lama, sehingga diharapkan KPPU dapat mengeluarkan kebijakan atau pedoman hukum persaingan usaha di industri ekonomi digital. Tujuannya untuk mengawasi dan menjaga iklim persaingan yang sehat, demi kesejahteraan masyrakat sesuai dengan cita-cita UU No. 5 Tahun 1999.

Hamzah juga menjelaskan tentang bagaimana algoritma harga dan upaya menghadapi aksi anti persaingan di industri ekonomi digital. Karakteristik bisnis digital dalam melakukan kegiatan usahanya adalah untuk mendapatkan data atau informasi yang berasal dari masyarakat. Pada umumnya, mayoritas masyarakat telah mengakses atau menggunakan sosial media untuk memudahkan komunikasi kepada orang lain, karena tidak memiliki keterbatasan ruang dan waktu. Masyarakat diwajibkan untuk mengisi data atau informasi pribadinya, untuk dapat mengakses aplikasi atau media sosial tersebut dan data atau informasi tersebut merupakan sasaran yang diinginkan oleh para pelaku usaha. Sehingga bukan menjadi sebuah rahasia, ketika hadirnya pelaku usaha atau perusahaan yang menawarkan atau menjual informasi atau data tersebut.

Seperti penjelasan di atas, adanya sistem algoritma akan menciptakan sebuah keterbukaan atau transparansi akan data dan informasi. Satu sisi, transparansi merupakan hal yang positif tetapi di sisi lain akan menciptakan dilema atau permasalahan dalam persaingan usaha. Dengan adanya sistem algoritma, para pelaku usaha mendapatkan informasi mengenai harga dan selera para calon konsumen akan produk barang/jasa. Hal tersebut dapat memicu persaingan usaha yang tidak kompetitif antar para pelaku usaha. Kemungkinan buruknya, para pelaku usaha akan melakukan kolusi untuk menetapkan harga yang sama pada satu pasar bersangkutan, dengan dalil atau alasan untuk menyesuaikan harga yang diinginkan oleh para konsumen.

Sedangkan Adi juga manyampaikan bahwa dynamic price algorithm memang diperlukan untuk menangani fluktuasi harga di real time. Mau tidak mau di e-Commerce sebetulnya mungkin sudah banyak yang mengimplementasikan. Kemudian beberapa modul atau data tersebut sangat mempengaruhi terhadap bagaimana algoritma. Kemudian untuk batch algorithm bisa digunakan dengan menggunakan data yang sebelum untuk memprediksi harga berikutnya atau untuk mengetahui tren atau strategi. Sedangkan di reinforcement learning ini digunakan untuk membuat action otomatis berdasarkan reward dan punishment yang ada di lingkungannya. Tentunya kekurangan dan ancaman ini perlu diperhatikan dalam penggunaan aplikasi dynamic pricing.