Mahkamah Agung RI Kunjungi Kantor Wilayah I KPPU
Medan (21/7) – Dalam rangka Penyusunan Naskah Kebijakan Tahun Anggaran 2023, Pusat Pelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan judul “Sistem Pembuktian dalam Perkara Gugatan Penghapusan Merk”. Kegiatan dihadiri oleh Wiganti Pujiningrum sebagai Assisten Hakim Agung Kamar Perdata MA RI yang didampingi oleh Nurrahman Aji Utomo, Agus Suntoro, Andi Nursuasri Aini, Ndaru Kusumo dan Josefhin Maretha selaku Peneliti Badan Riset Inovasi Nasional.
Mengawali FGD, Aji menjabarkan bahwa gugatan penghapusan merk berbeda dengan pembatalan merk. Pengapusan merk dapat dilakukan apabila tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut sedangkan pembatalan merk berdasarkan pembatalan terakhir. Indikator penghapusan merk memerlukan penelitian ilmiah terkait penghapusannya karena dalam Undang-Undang belum diatur secara detail serta dalam pembuktiannya memerlukan struktur pasar.
Dilanjutkan pemaparan yang disampaikan oleh Agus yaitu terkait dalam memformulasikan ataupun mengintegrasikan alat bukti, Mahkamah Agung perlu membuat panduan bagi Hakim untuk merespon perkembangan dunia usaha yaitu seperti pembuktian era digital, memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemilik merk dengan cara beritikad baik.
“Bagaimana bentuk perlindungan dan cara pembuktian yang diberikan KPPU terkait dengan adanya pelanggaran hak merek yang di dalamnya mengandung unsur pelanggaran persaingan usaha seperti Tindakan monopoli,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut Ridho selaku Kepala Kanwil I KPPU mengatakan terdapat 5 (lima) alat bukti dalam pembuktian di KPPU. Salah satunya adalah bukti petunjuk atau dalam pembuktian di KPPU disebut indirect evidence atau pembuktian tidak langsung, yaitu pembuktian dalam bentuk analisa ekonomi dan bukti komunikasi. Untuk mendapatkan analisa ekonomi maka dibutuhkan data ekonomi yang diperoleh dari hasil survey, hasil kajian, permintaan data kepada pelaku usaha dan pembelian data ke penyedia data survey dan sebagainya.
Selain itu, ada dua pendekatan dalam membuktikan ada tidaknya pelanggaran, yaitu rule of reason dan per se ilegal. Pendekatan rule of reason menyangkut bagaimana motif atau alasan dari adanya perilaku yang melanggar hukum persaingan dan bagaimana dampaknya terhadap persaingan atau konsumen.
Ridho juga menambahkan dalam Undang-Undang No. 5/1999 terdapat Kegiatan yang dilarang, Perjanjian yang dilarang, dan Posisi Dominan. Dalam Undang-Undang 5/1999 filosofi HAKI harus dilindungi karena merupakan bagian dari inovasi, termasuk penemuan-penemuan yang harus dipatenkan. Sebagaimana dalam Pasal 50 huruf b Undang-Undang 5/1999 disebutkan bahwa perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual dikecualikan dalam Undang-Undang.
“HAKI dikecualikan dari UU No. 5 Tahun 1999 karena sebagai bentuk perlindungan kepada si pemegang HAKI terhadap ide dan hasil temuan. Jika ada monopoli dan harga yang eksesif dari pemegang paten, rasionalisasinya untuk mendukung inovasi, tetapi ketika merk digunakan untuk menghalangi pesaing masuk ke pasar misalnya, maka perilaku yang berpotensi melanggar persaingan usaha dapat masuk ke dalam ranah KPPU,” tegasnya.