Ekonomi Biaya Tinggi pada Sektor Logistik di Pelabuhan Belawan Medan
Pelabuhan Belawan dinilai masih sulit bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan lainnya di Indonesia karena masih tingginya tingkat in-efisiensi di pelabuhan tersebut. Komisioner KPPU Pusat, Benny Pasaribu mengatakan, jika tidak ingin semakin kompleks, masalah pada Pelabuhan Belawan harus segera dibenahi pemerintah. Walaupun untuk pengembangan, pengelola pelabuhan melakukan sendiri namun tetap bertanggungjawab karena regulasinya dibuat oleh pemerintah. “Pemerintah harus mengubah regulasi kalau tidak mau masalah semakin kompleks sebab persoalannya ada pada hulu,” ujarnya pada Sambutan pembukaan acara Dengar Pendapat bertajuk ”Ekonomi Biaya Tinggi pada Sektor Logistik di Pelabuhan Belawan Medan” yang digelar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), di Hotel Polonia Medan, Kamis (1/11).
Acara Dengar Pendapat yang dihadiri oleh Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Sumut, KADIN Sumut, Otoritas Pelabuhan Belawan, BICT, ketua dan perwakilan asosiasi di sektor angkutan laut dan kepelabuhanan, kalangan akademisi dan wartawan ini menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu Kepala KPD KPPU Medan, Gopprera Panggabean, Direktur Utama (Dirut) PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Persero, Alfred Natsir dan Pengamat Hukum Ekonomi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Bismar Nasution serta dipandu oleh Kasubag Openegakan Hukum KPD Medan, Ridho Pamungkas.
Sebagai pemateri pertama, Gopprera Panggabean menekankan pentingnya dengar pendapat mengenai transportasi laut karena transportasi laut memberikan kontribusi mencapai 77% dari keseluruhan moda transportasi dalam perekonomian atau perdagangan. “Transportasi udara hanya sebesar 0,3%, perpipaan 6,7% dan darat 16,0%. Jadi transportasi laut harus segera dibenahi,” katanya. Beberapa keunggulan moda transportasi laut dibandingkan dengan transportasi lainnya yaitu biaya per satuan barang murah, infrastruktur laut, selat dan samudra secara alami telah tersedia dan tidak perlu pemeliharaan serta volume angkutan sangat besar. “Jika pemerintah bisa membenahi moda transportasi laut maka keuntungan untuk negara akan tinggi terutama masyarakat,” lanjutnya.
Dalam pemaparannya, Gopprera Panggabean juga menyoroti penyebab inefisiensi di Pelabuhan Belawan diantaranya pelayanan instansi yang tidak standar dan tidak terintegrasi dengan baik, fasilitas dermaga yang tidak mencukupi, waktu tunggu kapal yang masih relatif lama, produktifitas bongkar muat yang rendah, peralatan yang kurang lengkap dan atau tertinggal teknologi dan birokrasi di dalam pelaksanaan logistik di indonesia sangat tinggi.
Hal tersebut juga diakui oleh Alfred Natsir sebagai pemateri kedua. “Saat ini, walaupun sudah ada pengurangan waktu sandar baik kapal maupun barang, tapi masih lebih tinggi dibandingkan pelabuhan lain,”. Menurut pengakuannya, lamanya waktu sandar kapal di Belawan mencapai delapan hari sementara pelabuhan di Makassar hanya satu hari saja. Begitupun saat ini pihaknya sudah berupaya mengurangi hingga sekarang menjadi tiga hari. “Kami akan upayakan bisa satu hari dari sekarang baik untuk domestik maupun internasional,” ujarnya.
Lamanya pelayanan di Pelabuhan Belawan menimbulkan biaya tinggi. Untuk biaya demorage misalnya, dalam satu hari operator mengeluarkan biaya mencapai Rp 50 juta hingga Rp 100 juta. Sedangkan peti kemas, biayanya sebesar Rp 25.000 per hari. “Bayangkan saja berapa biaya yang harus dikeluarkan operator akibat in-efisiensi itu. Biaya tersebut masuk dalam bagian biaya lain-lain, belum lagi biaya resmi,” ucapnya.
Selain pelayanan, banyaknya institusi di pelabuhan baik pemerintahan maupun pengusahaan juga menjadi penyebab biaya tinggi. Dari pemerintah saja, ada otoritas pelabuhan, syahbandar, karantina dan lainnya. Belum lagi instansi pengusahaan seperti Badan Usaha Pelabuhan (BUP), Perusahaan Bongkar Muat (PBM), Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) dan lainnya. “Kalau salah satu saja membuat susah, akan terimbas kepada yang lainnya,” ujarnya.
Sementar Prof Bismar Nasution mengatakan dalam rangka efisiensi pelabuhan, perlu dibangun kesadaran dan menguatkan pemahaman pelaku usaha dalam kegiatan pelabuhan akan pentingnya persaingan usaha yang sehat sekaligus menghapus monopoli dan dapat melindungi konsumen. “UU itu merupakan aturan hukum persaingan di Indonesia. Seharusnya dapat diterapkan sebagai petunjuk dari pelaku usaha dan pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi nasional,” ujarnya.
Beliau juga berpendapat bahwa UU Pelayaran tersebut belum dapat menuntaskan atau menghapuskan monopoli secara maksimal karena UU ini tidak mudah dipahami disebabkan adanya aspek analisis ekonomi. “Bahkan ada yang berpendapat bahwa UU Pelayaran ini justru menghasilkan monopoli baru” pungkasnya.