KPPU lewati Semester Pertama 2014 dengan Lima Saran Kebijakan

KPPU telah menyampaikan lima saran kebijakan persaingan kepada pemerintah pusat dan daerah pada semester pertama 2014. Saran yang disampaikan kepada Menteri, Kepala Badan, dan Gubernur tersebut meliputi beberapa sektor seperti konstruksi, ketenagalistrikan, perbankan daerah, pangan, dan pengadaan. Berikut beberapa penjelasan terkait saran kebijakan persaingan tersebut.
Kebijakan Wajib SBU/SRP
Saran pertama di tahun 2014 meliputi kebijakan Gubernur Aceh melalui Instruksi Gubernur Aceh No. 01/INSTR/2007 perihal Pemberlakuan Sertifikat Badan Usaha/Sertifikat Registrasi Perusahaan di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam. Kebijakan ini mewajibkan pelaku usaha dari luar Propinsi Aceh untuk mendaftar ulang dan memperoleh sertifikasi ulang untuk sertifikat badan usaha atau sertifikat registrasi perusahaan dari Kamar Dagang dan Industri Provinsi Aceh. Dalam kebijakan ini, KPPU memandang bahwa peraturan pemerintah pusat atas kewajiban registrasi dan sertifikasi telah bersifat nasional sehingga pendaftaran ulang di daerah justru akan menciptakan hambatan masuk bagi pelaku usaha di luar provinsi dalam mengikuti proses pengadaan barang dan jasa di daerah tersebut. Ini juga dapat menimbulkan diskriminasi antar daerah asal pelaku usaha, serta mampu menimbulkan biaya baru bagi pelaku usaha luar daerah untuk bersaing di provinsi tersebut. Pada akhirnya kebijakan ini dapat mengurangi kemampuan pelaku usaha local Aceh untuk menciptakan produk atau jasa yang berdaya saing tinggi.  Atas hal tersebut, KPPU pada tanggal 17 Maret 2014 merekomendasikan Gubernur Aceh untuk mencabut instruksi tersebut dan tidak memberlakukan prasyarat kewajiban untuk melampirkan SBU/SRP yang diterbitkan KADIN Aceh pada proses pengadaan barang dan jasa di wilayah tersebut.
Kebijakan Kenaikan Listrik
Saran kedua yang disampaikan KPPU terkait dengan rencana kenaikan kebijakan tariff listrik tahun 2014. Saran ini diawali dengan pengamatan KPPU atas rencana kenaikan tariff listrik tahun 2014, khususnya berdasarkan diskusi antara Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, KPPU, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 8 April 2014. Dalam diskusi tersebut diketahui bahwa pemerintah bermaksud menaikkan tariff listrik melalui tiga poin rencana kebijakan, yakni (i) penghapusan subsidi bagi golongan tariff industry 3 (daya >200kVA) khusus untuk perusahaan go public (terbuka); (ii) penghapusan subsidi untuk golongan tariff industry 4 (daa >30.000kVA); dan (iii) penyesuaian tariff untuk golongan tertentu, khususnya rumah tangga besar, bisnis menengah, bisnis besar, dan kantor pemerintah sedang.
Yang menjadi perhatian KPPU dalam kebijakan tersebut adalah pembedaan tarif bagi perusahaan tertutup dan perusahaan terbuka, dengan alasan bahwa mereka (perusahaan terbuka) lebih memiliki kekuatan pada aspek financial. KPPU justru menilai bahwa kebijakan tersebut bersifat diskriminatif dan mampu meningkatkan biaya produksi perusahaan terbuka jika dibandingkan dengan perusahaan tertutup. Akibatnya, daya saing perusahaan terbuka akan terpengaruh. Pembedaan juga akan menjadi disinsentif bagi perusahaan terbuka, yang notabene keterbukaan mereka ditujukan untuk penciptaan perusahaan yang sehat, transparan, dan akuntabel dengan good corporate governance yang tinggi. Kebijakan pembedaan ini justru mendorong perusahaan untuk mempertahankan sifatnya yang tertutup dan jauh dari upaya penciptaan perusahaan yang transparan dan akuntabel. Asumsi kekuatan modal perusahaan terbuka juga dinilai kurang kuat, karena banyak perusahaan tertutup yang justru dimiliki asing dan dengan dukungan kekuatan finansial yang signifikan. Ini tentu saja dapat mengakibatkan tersingkinya perusahaan terbuka nasional dari pasar, karena kalah bersaing dengan perusahaan tertutup milik asing.
Memperhatikan hal ini, dalam surat saran kebijakan yang ditujukan kepada Kepala Badan Kebijakan Fiskal pada tanggal 16 April 2014 tersebut, KPPU menyarankan pemerintah untuk tidak memberlakukan rencana kebijakan yang berbeda antara perusahaan terbuka dan perusahaan tertutup. Penyesuian harga listrik yang murni kewenangan pemerintah tersebut disarankan agar menggunakan criteria lain yang sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat dan menjamin kesempatan berusaha yang sama bagi seluruh pelaku usaha. Lebih lanjut, memperhatikan belum diadaptasinya saran tersebut, KPPU turut menyampaikan saran yang sama kepada Presiden RI pada tanggal 18 Juni 2014 yang lalu.
Kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR) Telur Tetas Broiler
Kebijakan CSR bagi telur tetas broiler dimaksudkan untuk mengurangi jumlah telur tetas broiler melalui pengalokasian sekitar 15% total produksi telur tetas untuk kepentingan CSR, yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan oleh asosiasi dan evaluasi pelaksanaan melalui monitoring oleh sesame pelaku usaha ternak. Rencana kebijakan pemerintah (Kementerian Perdagangan) ini ditujukan untuk menstabilkan harga day old chicken (DOC) dan atau ayam broiler.
Kebijakan CSR pada dasarnya merupakan hal yang positif, dan KPPU sendiri tidak bekeberatan dan mendukung pelaksanaan program tersebut, sepanjang tidak melanggar ketentuan dalam undang-undang persaingan usaha. Namun, rencana kebijakan yang akan disusun Kementerian Perdagangan tersebut, justru akan memfasilitasi atau mempermudah pembentukan perilaku kartel di masa mendatang. Tiga poin yang memacu kartel tersebut adalah (i) adanya alokasi besaran stok untuk CSR yang disepakati bersama; (ii) adanya bentuk koordinasi oleh asosiasi; dan (iii) adanya cross monitoring oleh sesame peternak. Rencana kebijakan tersebut, tentu saja akan bertentangan dengan ketentuan pasal 11 (Kartel) di undang-undang persaingan usaha. Lebih lanjut, KPPU juga berpendapat bahwa rencana penggunaan CSR untuk fungsi stabilisasi harga, perlu dianalisa lebih lanjut kebenaran tujuannya sebagaimana Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Memperhatikan isu tersebut, KPPU melalui surat saran pertanggal 17 April 2014 menyarankan Menteri Perdagangan untuk lebih memprioritaskan pengaturan manajemen impor grand parent stock (GPS) dan pemberian ijin impor guna melindungi kepentingan peternak. KPPU juga menyarankan untuk menghindari pengkoordinasian CSR yang dapat mengarah pada perilaku kartel dan perilaku tidak sehat lainnya, serta menyiapkan instrumen lain yang sesuai dengan undang-undang.
Kebijakan Sinergi BUMN dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Saran keempat ini disampaikan terkait kebijakan Kementerian Negara BUMN melalui Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN, yang diubah menjadi Peraturan Menteri BUMN No. Per-15/MBU/2012. Kebijakan tersebut disusun untuk memberikan fleksibelitas BUMN dalam melaksanaan pengadaan barang dan jasa, sehingga mampu mempersingkat waktu dan meningkatkan kesempatan bisnis perusahaan pelat merah. Kebijakan tersebut diberlakukan bagi pengadaan barang dan jasa yang pembiayaannya tidak secara langsung menggunakan dana APBN/APBD.
Yang menjadi sorotan KPPU dalam kebijakan tersebut adalah keberadaan pasal 9 ayat 3 huruf “j” yang menjelaskan bahwa pengadaan barang dan jasa di BUMN dapat dilakukan melalui penunjukan langsung apabila terdapat BUMN, anak perusahaan BUMN, atau perusahaan terafiliasi BUMN bertindak sebagai penyedia barang dan jasa, dengan catatan kualitas dan harga yang dapat dipertanggungjawabkan. Menariknya, di pasal 9 ayat 4 juga dinyatakan bahwa anak perusahaan dan atau perusahaan terafiliasi langsung akan mendapatkan prioritas apabila BUMN yang menjadi induk melakukan pengadaan barang dan jasa.
Cakupan perlakuan khusus tersebut dijabarkan pasal 12 dan 12A yang mengatur tentang ruang lingkupnya. Pasal tersebut menjelaskan bahwa peraturan tersebut berlaku bagi (i) BUMN yang berbentuk perseroan terbuka; (ii) anak perusahaan BUMN yang lebih dari 50% sahamnya dimiliki BUMN; atau (iii) perusahaan terafiliasi BUMN yang sahamnya lebih dari 50% dimiliki oleh anak perusahaan BUMN, gabungan anak perusahaan BUMN, atau gabungan anak perusahaan BUMN dengan BUMN.
KPPU sangat memahami bahwa sinergi BUMN merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dan memperkuat BUMN agar memiliki daya saing tinggi, khususnya dalam menghadapi globalisasi perekonomian dan liberalisasi perdagangan. Namun KPPU memberikan catatan bahwa, selain perusahaan asing, masih terdapat perusahaan swasta nasional yang menjadi pesaing BUMN di pasar domestic. Dengan diperkenankannya penunjukan langsung ini, maka perusahaan swasta  nasional akan terhambat dalam memperoleh kesempatan di pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN. Ini akan menciptakan entry barrier bagi mereka. Selain itu, mekanisme penunjukan langsung dapat menghasilkan barang dan jasa yang tidak efisien dari sisi harga dan atau kualitas, khususnya untuk industri yang terkonsentrasi. Penunjukan langsung oleh BUMN kepada anak perusahaan atau yang terafiliasi dengannya, juga akan meningkatkan kekuatan monopoli dan posisi dominan BUMN tersebut di pasar lain (melalui penutupan pasar/foreclosure). Penunjukan langsung tersebut juga tidak termasuk dalam pengecualian pasal 50 huruf “a” di undang-undang persaingan usaha (UU No. 5/1999), karena tidak terdapat pasal di UU No. 19/2003 tentang BUMN yang menetapkan peraturan terkait penunjukan langsung ataupun pengadaan barang dan jasa khusus BUMN.
Dalam konteks tersebut, KPPU dalam surat sarannya di tanggal 20 Mei 2014 kepada Menteri Negara BUMN meminta pemerintah untuk mencabut dan mendesain ulang kebijakan sinergi BUMN dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN yang disesuaikan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. KPPU juga menyarankan agar dilakukan koordinasi dengan kementerian dan lembaga Negara lain (termasuk KPPU) dalam menyusun peraturan perundangan terkait sinergi BUMN tersebut.
Kebijakan Penunjukan Bank untuk Penyaluran Dana Bergulir
Saran terakhir yang disampaikan KPPU adalah untuk menindaklanjuti audiensi Dinas Koperasi, UMKM, Perdagangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 1 April 2014 yang mengangkat isu rencana penunjukkan bank dalam menyalurkan dana bergulir. Rencana kebijakan ini dibahas seiring dengan rencana pemerintah daerah dalam untuk menunjuk bank sebagai mitra pelaksana penyaluran dana bergulir kepada koperasi-koperasi di DKI Jakarta. Dalam sarannya per tanggal 16 April 2014, KPPU menyarankan agar dilaksanakan mekanims competition for the market seperti beauty contest atau lelang, dan menciptakan criteria dan persyaratan bagi penyedia jasa secara terbuka dan transparan, serta tidak mengikat atau mengarah kepada satu bank tertentu sehingga tercipta kesempatan berusaha yang sama bagi semua bank. Hal ini agar sejalan dengan tujuan pembentukan undang-undang persaingan usaha.
Kelima saran tersebut disampaikan KPPU seiring dengan tugas yang diberikan pasal 35 huruf “e” di UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyatakan bahwa KPPU dapat memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah terkait praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Walaupun saran dan pertimbangan tersebut bersifat tidak mengikat (sukarela), pemerintah tetap diharapkan untuk memperhatikan pendapat KPPU tersebut dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakannya. Khususnya mengingat kesamaan tujuan utama pemerintah dan semua lembaga Negara untuk menciptakan ekonomi yang berdaya saing tinggi, yang berujung pada kesejahteraan masyarakat secara luas.
(DWN)