Kebijakan Pelaksanaan Uji Kompetensi Profesi Tata Laksana RT untuk Calon TKI

Kebijakan Pelaksanaan Uji Kompetensi Profesi Tata Laksana RT untuk Calon TKI

KPPU telah selesai melakukan kajian atas kebijakan pelaksanaan uji dan sertifikasi kompetensi untuk bidang tata laksana rumah tangga (TLRT) bagi calon tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Kajian dilaksanakan dengan adanya temuan di lapangan terkait adanya kebijakan pemerintah yang memfasilitasi terjadinya kartel (penetapan harga) oleh pelaku usaha, khususnya melalui surat Keputusan BNSP Nomor Kep 281/BNSP/XII/2011 tentang Pedoman Pengendalian Pelaksanaan Uji Kompetensi Untuk Bidang TLRT. Kebijakan yang menjadi persoalan adalah pada poin 6 terkait Biaya Uji, dimana dalam pasal tersebut BNSP menyatakan bahwa konsorsium menetapkan biaya uji kompetensi dan struktur biayanya sesuai kebutuhan untuk menjamin kualitas pengujian, serta dapat membentuk tim teknis yang akan mengelola dana uji kompetensi tersebut.
Latar Belakang
Jumlah angkatan kerja di Indonesia di tahun 2013 sudah mencapai 118.19 juta jiwa, naik 3.83 persen dari periode 5 tahun sebelumnya. Pertumbuhan angkatan kerja tersebut sayangnya tidak diiringi dengan kualitasnya, karena saat ini jumlah penduduk usia kerja yang menamatkan pendidikan hingga jenjang Perguruan Tinggi (Universitas) hanya mencapai 7,49 persen. Sebagian besar (53,81%) masih berpendidikan SD ke bawah. Hal ini mendorong tingginya penempatan tenaga kerja ke luar negeri (TKI). Dengan tingkat pendidikan yang rendah tersebut, sayangnya profesi yang dapat dipenuhi oleh TKI di luar negeri adalah sektor informal, salah satunya adalah profesi tata laksana rumah tangga (TLRT). Data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjukan bahwa pengiriman TKI ke luar negeri dari tahun ke tahun cukup besar. Untuk tahun 2013 jumlah TKI yang bekerja di luar negeri mencapai 512.168 orang, naik 3.55% dari tahun sebelumnya yang mencapai 494.609 orang. Dari jumlah tersebut tercatat sebanyak 44% TKI bekerja di sektor informal.
Nah, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, setiap calon TKI wajib mengikuti ujian kompetensi kerja sesuai profesi yang dilamarnya, termasuk profesi TLRT. Uji kompetensi dilakukan untuk memastikan bahwa calon TKI tersebut telah benar-benar memiliki kompetensi sesuai dengan yang dibutuhkan dan siap untuk bekerja.
Sejarah penunjukan lembaga sertifikasi profesi

Awalnya, pelaksanaan uji dan sertifikasi kompetensi untuk calon TKI dilakukan oleh Pemerintah, yakni Dinas Tenaga Kerja Provinsi. Sejak 2003, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui SK 81A/MEN/2003, menunjuk satu lembaga sertifikasi untuk melakukan uji kompetensi bagi seluruh calon TKI khusus sektor TLRT, yaitu LSP Lembaga Uji Kompetensi (LSP LUK). Tahun selanjutnya, dibentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) melalui PP No. 23 Tahun 2004 yang bertugas melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja untuk seluruh profesi, termasuk profesi TLRT. Namun dalam prakteknya, BNSP kemudian memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) untuk melaksanakan ujian dan sertifikasi kompetensi. LSP merupakan pihak swasta yang menjadi kepanjangan tangan BNSP dalam melakukan sertifikasi kompetensi kerja. Pelaksanaan ujian dan sertifikasi kompetensi yang dilimpahkan BNSP kepada pihak swasta (LSP) tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan ruang lingkup kompetensi kerja yang sangat luas dan tersebar di berbagai sektor.
Pelaku pasar di sektor TLRT
Untuk sektor TLRT, pada tahun 2006 BNSP memberikan lisensi sertifikasi kompetensi profesi TLRT kepada 3 (tiga) LSP. Saat inilah awal mula terjadi terjadinya persaingan dalam sektor jasa sertifikasi kompetensi profesi TLRT. Di tahun 2009, 1 (satu) LSP behenti beroperasi. Pada tahun 2011, BNSP menambah jumlah lisensi yang diterbitkan untuk LSP profesi TLRT. Total jumlah LSP profesi TLRT saat itu adalah 8 (delapan) LSP. Tahun 2012, BNSP mencabut lisensi 1 (satu) LSP profesi TLRT, sehingga saat ini jumlah LSP profesi TLRT adalah 7 (tujuh) pelaku usaha. Seiring dengan bertambahnya jumlah LSP profesi TLRT, persaingan yang terjadi antar LSP pun menjadi semakin ketat. Bahkan disinyalir mengarah pada praktek persaingan usaha tidak sehat, seperti sertifikasi yang tidak terkendali, sertifikat palsu, perang harga, dan sebagainya. Untuk mengatasinya, BNSP melakukan berbagai pembenahan seperti sistem online dan infrastruktur LSP.

Pelanggaran persaingan usaha
Di tahun 2012, Konsorsium Lembaga Sertifikasi Profesi Tata Laksana Rumah Tangga (Konsorsium LSP TLRT) dibentuk melalui Nota Kesepakatan Konsorsium LSP TLRT No 1/I/2012. Nota ini mengatur berbagai hal, antara lain mekanisme uji kompetensi, penetapan biaya uji kompetensi sebesar Rp 125.000 per asesi, dan biaya uji ulang sebesar Rp 25.000. Saat itu terdapat 8 (delapan) pelaku usaha dalam konsorsium. Hingga saat ini, pelaksanaan uji dan sertifikasi kompetensi bagi calon TKI untuk profesi TLRT, masih dilakukan di bawah koordinasi konsorsium tersebut.
Pada awalnya, penetapan harga oleh konsorsium di atas tidak serta merta dipatuhi oleh seluruh LSP, karena ada upaya dari satu LSP untuk menetapkan biaya uji kompetensi di bawah harga yang telah disepakati dalam kesepakatan. Untuk mengantisipasi terjadinya persaingan harga antar LSP di sektor tersebut, pada Juni 2012 diterbitkan Pedoman BNSP No 502 – 2012 (Keputusan BNSP No Kep 327/BNSP/VI/2012) tentang Pengelolaan Konsorsium LSP TLRT Untuk Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Dengan Menggunakan Sistem Online (Sistem POSKO). Dalam pedoman tersebut, BNSP memberikan kewenangan kepada konsorsium untuk mengelola sistem POSKO dan melakukan pendistribusian jumlah asesi kepada seluruh LSP di sektor profesi TLRT. Kewenangan inilah yang menjadi jalan bagi Konsorisum LSP TLRT untuk melakukan pembagian jumlah asesi secara merata kepada seluruh LSP (sistem kuota).
Pengamatan KPPU
Pada dasarnya, pelaksanaan uji kompetensi dan penerbitan sertifikasi kompetensi merupakan tugas Pemerintah, sehingga tidak dapat diusahakan oleh pihak swasta dan dikompetisikan secara bebas. Apabila tugas tersebut diserahkan kepada pihak swasta maka Pemerintah perlu menjamin bahwa pihak swasta tersebut memiliki kompetensi dan komitmen dalam menjaga agar proses pengujian dan penerbitan sertifikat kompetensi dilakukan sesuai aturan. Untuk memastikan bahwa pihak swasta yang diberikan lisensi oleh BNSP memiliki kompetensi, maka persyaratan bagi pihak swasta untuk mendapatkan lisensi harus ketat. Persyaratan ketat dapat dijadikan sebagai area seleksi untuk mendapatkan pihak swasta yang paling berkualitas. Dengan demikian, mutu pelaksanaan uji kompetensi akan tetap terjaga.
KPPU memandang bahwa pada dasarnya BNSP sudah memiliki peraturan yang mengatur mengenai kendali mutu dan sanksi, yang dituangkan dalam Peraturan BNSP Nomor 3/BNSP/III/2014 tentang Pedoman Ketentuan umum Lisensi Lembaga Sertifikasi Profesi (selanjutnya disebut Pedoman BNSP Nomor 208-2014). Dalam peraturan tersebut secara jelas disebutkan bahwa seluruh LSP yang sudah diberikan lisensi oleh BNSP wajib berkomitmen penuh untuk memenuhi persyaratan lisensi yang ditetapkan BNSP. Bagi LSP yang melanggar komitmen tersebut akan diberikan sanksi pembekuan, pengurangan lingkup, sampai dengan pencabutan lisensi. Implementasi telah dilaksanakan cukup ketat, terbukti dengan telah dicabutnya beberapa izin pelaku usaha sektor tersebut.
KPPU mengamati bahwa tindakan kesepakatan penetapan biaya uji oleh konsorsium tersebut, didukung oleh kebijakan Pemerintah, yakni Surat Keputusan Ketua BNSP No. Kep 281/BNSP/XII/2011 tentang Pedoman Pengendalian Pelaksanaan Uji Kompetensi untuk Bidang Tata Laksana Rumah Tangga (TLRT). Dalam konteks ini, kesepakatan seluruh LSP TLRT dalam menetapkan biaya uji kompetensi yang dilegalisasi oleh BNSP adalah melanggar Pasal 5 UU No 5/1999 terkait kartel penetapan harga.
Penetapan harga yang dilakukan oleh sesama pelaku usaha merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap hukum persaingan. Perilaku kesepakatan penetapan harga akan secara langsung menghilangkan persaingan yang seharusnya terjadi diantara perusahaan-perusahaan yang ada di pasar. Hal ini terbukti dengan kecenderungan ratanya pangsa pasar pelaku usaha TLRT setelah pelaksanaan kebijakan melalui perilaku kartel.
Tanpa adanya persaingan, pelaku usaha juga dapat dengan mudah meningkatkan keuntungan dan mengeksploitasi konsumen, salah satunya adalah dengan cara menaikan harga barang dan/atau jasa. Dalam hal ini, pihak yang paling dirugikan dari kesepakatan harga adalah calon TKI selaku konsumen akhir dari LSP.
Pendapat KPPU
KPPU berpendapat bahwa penetapan biaya uji kompetensi idealnya dilakukan oleh Pemerintah, bukan ditetapkan secara bersama-sama oleh pelaku usaha. Dari sudut pandang KPPU, Pemerintah akan lebih bijaksana dalam menetapkan biaya uji kompetensi, karena mampu bertindak di atas dua kepentingan, yakni sisi pelaku usaha dan sisi konsumen. Dengan kata lain, biaya yang ditetapkan oleh Pemerintah akan memperhatikan tingkat keuntungan yang wajar bagi pelaku usaha, namun tetap mempertimbangkan aspek keterjangkauan bagi konsumen.
Besaran biaya uji kompetensi khusus untuk profesi TLRT, sebenarya sudah ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan besarannya berbeda-beda sesuai dengan negara tujuan. Misalnya Malaysia (Rp. 110.000 per asesi), Hongkong (Rp. 150.000 per asesi), atau Singapura (Rp. 150.000). Akan lebih tepat jika itu dijadikan acuan oleh BNSP dan tidak menyerahkan besaran biaya uji kompetensi kepada suatu konsorsium pelaku usaha.
Untuk itu, KPPU mengapresiasi penuh berbagai upaya perbaikan yang saat ini tengah dilakukan oleh BNSP guna mengatasi permasalahan dalam proses sertifikasi profesi TLRT. Namun, sebaiknya operasionalisasi sistem yang digunakan tetap dilakukan oleh BNSP selaku regulator, dan tidak dilimpahkankan kepada pelaku usaha. Fungsi kendali mutu serta pengawasan atas pelaksanaan sertifikasi oleh LSP harus tetap dilakukan oleh regulator, agar dapat dilakukan secara adil dan tanpa diskriminasi.
Pelimpahan operasionalisasi sistem online POSKO kepada Konsorsium LSP TLRT justru dapat membuka peluang terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat. Bentuk praktek persaingan usaha tidak sehat yang saat ini dilakukan oleh Konsorsium LSP TLRT adalah pendistribusian jumlah asesi secara merata kepada seluruh LSP (sistem kuota). Dari perspektif hukum persaingan, praktek pembagian kuota tersebut merupakan bentuk nyata dari kartel pemasaran yang melanggar Pasal 11 UU No 5/1999.
Selain itu, pelimpahan operasionalisasi sistem POSKO kepada Konsorsium LSP TLRT dapat pula dijadikan jalan bagi Konsorsium LSP TLRT untuk menutup peluang bagi pelaku usaha baru untuk masuk ke sektor profesi TLRT (barrier to entry), dan melanggar Pasal 10 ayat (1) UU No 5/1999.
Memperhatikan berbagai hal tersebut, maka pada tanggal 25 September 2014, Ketua KPPU, Nawir Messi, telah menyampaikan surat saran dan pertimbangan kepada BNSP yang merekomendasikan beberapa hal, yakni:
(1)    Pencabutan Peraturan BNSP No Kep 281/BNSP/XII/2011 tentang Pedoman Pengendalian Pelaksanaan Uji Kompetensi Untuk Bidang TLRT, khususnya yang memuat ketentuan yang memberikan kewenangan penetapan biaya uji kompetensi sektor TLRT kepada Konsorsium LSP TLRT;
(2)    Pencabutan Pedoman BNSP No 502-2012, khususnya yang melimpahkan operasionalisasi sistem POSKO kepada Konsorsium LSP TLRT sehingga membuka jalan terjadinya kartel antar pelaku usaha dalam bentuk pembagian kuotajumlah asesi;
(3)    Perintah kepada Konsorsium LSP TKI TLRT untuk menghentikan penetapan harga dan pembagian alokasi/kuota antar LSP;
(4)    Penetapan biaya uji dan sertifikasi kompetensi untuk seluruh profesi, khususnya TLRT, yang mengacu kepada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang sudah ada; dan
(5)    Memastikan agar sistem kendali mutu, pengawasan dan proses penegakan hukum tetap dilakukan oleh Pemerintah, serta dilaksanakan secara tegas dan tanpa diskriminasi.
Secara spesifik, KPPU juga menyarankan agar BNSP melaksanakan poin (1) sampai (3) dalam waktu 1 (satu) bulan sejak surat ini diterima serta melaksanakan saran dan pertimbangan KPPU poin (4) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak surat ini diterima.
Surat saran kebijakan tersebut telah diterima Kepala BNSP, dan KPPU terus mengawasi  upaya perbaikan kebijakan di sektor tersebut.
***
Bunyi pasal-pasal terkait:
Pasal 5 UU No 5/1999
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”
Pasal 11 UU No 5/1999.
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Pasal 10 ayat (1) UU No 5/1999.
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.”