Kebijakan Persaingan dalam Industri Taxi di Indonesia

Sektor perhubungan adalah sebuah sektor yang menjadi tulang punggung bagi perkembangan ekonomi sebuah negara. Melalui sektor perhubungan maka ekonomi bergerak secara dinamis dari waktu ke waktu. Sistem perhubungan (transportasi) yang baik akan mendorong tumbuhnya  ekonomi yang efisien dan berdaya saing. Sebaliknya sistem perhubungan yang buruk dari sebuah negara juga akan sangat berpengaruh terhadap munculnya ekonomi biaya tinggi di negara tersebut.
Taksi dan angkutan kota merupakan dua jenis angkutan darat di Indonesia, yang perannya sangat melekat erat dalam keseharian masyarakat perkotaan. Pada tahun 2007 saja, jumlah taksi dari 44 perusahaan yang beroperasi di Jakarta mencapai 16.045 unit.  Jumlah tersebut terus meningkat seiring dengan bertambahnya taksi baru yang melayani masyarakat DKI Jakarta saat ini.
Terkait dengan industri taksi di DKI Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia, pengaturan mengenai tarif taksi menjadi isu yang menarik. Seiring dengan kenaikan biaya Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif taksi sejak tahun 2005 mengalami perkembangan yang menarik yaitu lahirnya tarif taksi lama. Tarif taksi lama adalah tarif taksi yang lebih rendah dibanding tarif taksi normal yang ditetapkan Pemerintah. Penerapan tarif taksi lama oleh sebagian operator taksi, rupanya cukup menarik minat konsumen, dimana konsumen dapat memilih tarif terbaik sesuai dengan kemampuannya. Penerapan tarif taksi lama ini telah mendorong beberapa operator taksi seperti Taksi Express dan Taksi Putra mengambil porsi yang lebih besar di pasar industri taksi, khususnya di DKI Jakarta.
Sejak bulan Juni 2008, di beberapa daerah termasuk DKI Jakarta, terbit aturan mengenai tarif batas atas dan tarif batas bawah.
Di DKI Jakarta, melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No.51/2008 tentang penyesuaian tarif taksi yang berlaku per Juni 2008,  Pemda DKI Jakarta mengatur bahwa tarif taksi dibatasi pada tarif batas atas. Dengan berlakunya SK Gubernur tersebut maka tarif taksi batas bawah untuk buka pintu adalah Rp 5.000, dengan tarif per kilometer (km) adalah Rp 2.500. Tarif tersebut lebih mahal dibandingkan tarif taksi lama yaitu Rp 4.000/buka pintu . Sedangkan tarif batas bawah ditetapkan oleh Organisasi Angkutan Darat (Organda) selaku pelaku usaha dalam industri tersebut  .
Temuan KPPU

KPPU telah melakukan survey ke berbagai kota terkait dengan tarif taksi. Adapun temuan KPPU mengenai tarif taksi adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Mekanisme Penetapan Tarif Taksi di Berbagai Kota

Medan DIY Bandung Semarang Makassar DKI Jakarta
Tarif Taksi satu tarif satu tarif Batas atas dan batas bawah.Tidak ada tarif antara. Batas atas, batas bawah. Tidak ada tarif antara. satu tarif Batas atas, batas bawah. Tidak ada tarif antara.
Ditetapkan Oleh Pemda Pemda Pemda Organda Pemda Tarif batas atas oleh Pemda, Batas Bawah oleh Organda

Sumber : Survey KPPU, 2008
Tabel tersebut menunjukkan bahwa mekanisme penetapan tarif taksi di berbagai daerah berbeda-beda. Sebagian menerapkan satu tarif seperti di Medan, Yogyakarta dan Makassar, sedangkan sebagian yang lain menetapkan tarif batas atas dan bawah (DKI Jakarta dan Yogyakarta). Di Semarang, tarif batas atas dan bawah seluruhnya ditetapkan oleh Organda, sedangkan di DKI Jakarta tarif batas atas ditetapkan Pemda dan tarif batas bawah ditetapkan oleh Organda.
Dalam Keputusan Menteri 35 tahun 2003, pelayanan angkutan taksi merupakan pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasi terbatas meliputi daerah kota atau perkotaan (Pasal 29). Sementara menurut Pasal 29 ayat (2), pelayanan angkutan taksi diselenggarakan dengan ciri – ciri sebagai berikut :
a. tidak terjadwal
b. dilayani dengan mobil penumpang umum jenis sedan atau station wagon dan van yang memiliki konatruksi seperti sedan sesuai standar teknis yang ditetapkan Direktur Jenderal
c.    tarif angkutan berdasarkan argometer
d. pelayanan dari pintu ke pintu
Kebijakan Penetapan Tarif Taksi dan Persaingan Usaha
Regulasi tarif angkutan darat nasional, mengatur bahwa tarif untuk angkutan ekonomi ditetapkan oleh Pemerintah, sedangkan tambahan layanan yang diberikan (dalam kelas eksekutif) tarifnya ditetapkan oleh pelaku usaha (PP No. 41 Tahun 1993). Tarif angkutan penumpang tidak dalam trayek kecuali taksi ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan. Untuk trayek taksi, tarif  terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Tarif taksi ditetapkan oleh Menteri dalam PP No. 41 Tahun 1993 (pasal 49).
Tarif tersebut terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Penetapan tarif untuk taksi ditetapkan oleh Menteri. (Pasal 48 dan Pasal 49). Regulasi tersebut tidak relevan dengan fakta di lapangan, dimana tarif taksi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat untuk batas atas dan Organda untuk batas bawahnya.
Penerapan tarif batas atas oleh Pemerintah, selaras dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Kebijakan tersebut dapat menghindarkan konsumen dari eksploitasi yang mungkin dilakukan oleh produsen yang memiliki posisi dominan dalam bentuk harga yang terlalu tinggi.
Meskipun prinsip persaingan usaha mentolerir adanya penerapan batas atas oleh Pemerintah, tidak demikian halnya dengan penerapan tarif batas bawah. Penerapan batas bawah akan melindungi operator yang tidak efisien untuk tetap dapat berada dalam industri tersebut. Penerapan batas bawah juga dapat merugikan konsumen karena konsumen terpaksa harus membayar harga minimal sebesar tarif batas bawah, meskipun mungkin layanan yang diberikan kurang dari itu. Selain itu penetapan tarif batas bawah akan menyebabkan pelaku usaha yang bisa beroperasi dengan efisien dan bisa melahirkan tarif yang besarannya berada di bawah tarif batas bawah, maka dia terhambat untuk mengimplementasikan keunggulan bersaingnya tersebut. Akibatnya  masyarakat kehilangan pilihan tarif murah, secara jangka panjang hal ini akan menimbulkan inefisiensi yang sangat besar.
Sementara itu, terkait dengan penetapan tarif yang dilakukan asosiasi pelaku usaha baik tarif batas atas maupun tarif batas bawah, maka hal tersebut merupakan bentuk nyata dari kartel yang dipastikan melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penetapan tarif oleh pelaku usaha menghilangkan terjadinya persaingan harga diantara mereka sehingga tidak dapat diperoleh harga terbaik berdasarkan mekanisme pasarbagi konsumen.
Berdasarkan analisis terhadap permasalahan angkutan kota dan kebijakan penetapan tarif taksi maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Regulasi Bersifat Netral Terhadap Isu Persaingan Usaha
Secara keseluruhan Regulasi dalam Industri Angkutan Darat telah mengatur industri tersebut dengan cukup baik, dengan adanya mekanisme perizinan, evaluasi dan sanksi yang dipegang Pemerintah. Secara umum regulasi tersebut bersifat netral dan tidak bertentangan dengan prinsip persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999.
2. Kartel Dalam Penetapan Tarif Taksi Di Beberapa Daerah Di Indonesia
KPPU menemukan adanya penetapan tarif taksi oleh pelaku usaha di DKI Jakarta dan Semarang. Penetapan tarif oleh kumpulan pelaku usaha merupakan bentuk kartel yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999. Penetapan tarif taksi oleh pelaku usaha akan menghilangkan ruang bagi pelaku usaha untuk melakukan inovasi harga dan hanya melindungi pelaku usaha dengan kualitas buruk untuk dapat bertahan dalam industri tersebut.
Mengingat beragamnya kebijakan pengaturan taksi di berbagai daerah, maka Pemerintah Pusat diharapkan segera mengambil kebijakan untuk menyeragamkan kebijakan tersebut, dengan memberikan penekanan pada kebijakan untuk :
1. Hanya menetapkan tarif batas atas dalam kebijakan tarif taksi, yang lebih ditujukan untuk melindungi konsumen dari eksploitasi operator taksi. Mencabut kebijakan tarif batas bawah yang akan berpotensi menghambat pelaku usaha yang bisa menawarkan tarif yang terjangkau oleh masyarakat.
2. Menetapkan standar minimal kualitas pelayanan taksi dengan penindakan yang tegas terhadap para pelanggarnya.
3. Melarang secara tegas Organda untuk menetapkan tarif, karena akan menciptakan kartel yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999.
Pemberian saran dan pertimbangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kebijakan pengaturan tarif taksi di berbagai daerah agar tetap sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Dengan demikian, operator taksi sebagai pelaku usaha dan pengguna taksi sebagai konsumen akan sama-sama diuntungkan.

Comments (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published.