Sulitnya Membuktikan Praktik Kartel
Belakangan ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) cukup gencar melakukan investigasi tentang kartel. Terdapat beberapa kasus kartel yang cukup menarik berhasil diangkat oleh institusi itu. Kasus tersebut antara lain di sektor telekomunikasi terkait kartel SMS, di sektor barang konsumsi (kartel minyak goreng), sektor perhubungan (dugaan kartel fuel surcharge) dan belakangan adalah kartel semen.
Kartel merupakan isu yang sangat penting dan fenomenal dalam penerapan hukum persaingan usaha di banyak negara. Kartel termasuk pelanggaran berat dari hukum persaingan usaha. Mengapa demikian? Karena dampaknya terhadap penurunan social welfare dianggap cukup nyata. Oleh karena itu, dapat dipahami jika KPPU concern untuk melakukan investigasi.
Kebanyakan otoritas persaingan usaha di berbagai negara sangat hati-hati dalam pembuktian kartel. Sebagai contoh, berbagai keadaan yang sering ditengarai sebagai indikator adanya kartel sebenarnya perbedaannya sangat tipis dengan situasi dimana persaingan secara sehat berlangsung. Misalnya, tentang indikasi harga yang paralel (price parallelism) sering dianggap sebagai tindakan yang dilakukan secara bersama-sama secara kolusif untuk menentukan harga (price fixing) oleh para anggota kartel. Dalam praktiknya, terlalu banyak faktor yang menyebabkan terjadinya parallelism harga, yang terjadi justru karena pasarnya bersaing secara kompetitif.
Dengan kata lain, parallel price atau uniform price atau persamaan harga tidak serta-merta membuktikan adanya kesepakatan kartel diantara pelaku usaha pesaing. Indikasi-indikasi ekonomi seperti itulah yang sering disebut sebagai dicumstantial evidence atau indirect evidence atau bukti tidak langsung.
Perdebatan yang selalu muncul adalah apakah bukti tidak langsung dapat dijadikan alat untuk membuktikan pelanggaran kartel? Ada yang menyetujui hal tersebut, tetapi praktik di kebanyakan negara tidak menyetujui bukti tak langsung dijadikan satu-satunya alat pelanggaran kartel.
Kartel adalah perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pesaingnya dalam pasar oligopoli yang tujuan utamanya adalah untuk mencari profit/laba secara berlebihan. Perjanjian atau kesepakatan kartel antara lain penetapan harga, pembatasan produksi, alokasi pangsa pasar, alokasi konsumen, pembagian wilayah, pengaturan keuntungan dan bahkan sampai pengaturan tender. Unsur kunci dalam investigasi kartel adalah pembuktian adanya kesepakatan tersebut.
Dalam teori hukum persaingan usaha, alat-alat bukti dalam proses investigasi kartel dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis. Pertama, bukti langsung yakni bukti yang dapat menjelaskan adanya perjanjian atau kesepakatan tertulis atau tidak tertulis yang secara jelas menerangkan materi kesepakatan, contohnya adalah adanya perjanjian tertulis.
Misalnya untuk menyepakati harga, mengatur produksi, mengatur pasar, membagi wilayah pemasaran, menyepakati tingkat keuntungan masing-masing. Rekaman komunikasi antara pelaku kartel yang menyepakati mengenai adanya suatu kolusi kartel.
Kedua, bukti tidak langsung yaitu bukti yang tidak dapat menjelaskan secara terang dan spesifik mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha yang terdiri dari bukti ekonomi dan bukti komunikasi. Bukti komunikasi yang membuktikan adanya komunikasi dan/atau pertemuan antar pelaku kartel, namun tidak menjelaskan mengenai substansi yang dibicarakan, contohnya adalah rekaman komunikasi antar pesaing dan bukti perjalanan menuju suatu tempat yang sama antar pesaing. Selain itu, notulen rapat yang menunjukkan pembicaraan mengenai harga, permintaan atau kapasitas terpasang.
Untuk bukti ekonomi, contohnya antara lain perilaku pelaku usaha didalam pasar atau industri secara keseluruhan, dan bukti prilaku yang memfasilitasi kartel seperti pertukaran informasi dan adanya signal harga. Namun, ketentuan perundang-undangan (Pasal 42 UU No. 5/1999 juncto Pasal 64 (1) Peraturan KPPU No. 1/2006) secara tegas mempersyaratkan dalam menilai terjadi atau tidaknya pelanggaran alat bukti yang digunakan adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk, serta keterangan terlapor.
Dengan demikian, apabila indirect evidence hendak digunakan, kedudukannya hanyalah sebagai pendukung atau penguat dari salah satu alat bukti yang dimaksud. Di samping itu, dalam menggunakan indirect evidence harus terdapat kesesuaian fakta secara utuh yang diperoleh melalui metodologi keilmuan.
Tantangan Berat
Atas dasar itu, merupakan tantangan cukup berat bagi KPPU untuk membuktikan adanya pelanggaran kartel. Hal ini dimungkinkan karena institusi ini harus dapat menunjukkan adanya bukti langsung dan bukti tidak langsung.
Dalam hal bukti tidak langsung, bila diungkapkan hanya satu atau sedikit tanpa disertai uji atau analisis yang tepat, maka pembuktian mengenai pelanggaran kartel menjadi tidak valid.
Hal yang demikian bisa dianggap melanggar prinsip hukum yang berlaku universal yakni unus testis nullus testis. Bahkan KPPU telah menyusun draf pedoman kartel/pelanggaran Pasal 11 UU No. 5/1999 yang menyebutkan bahwa indikator-indikator ekonomi hanyalah petunjuk awal yang mendorong terjadinya kartel.
Untuk itu, diperlukan pembuktian lebih lanjut dalam bentuk bukti langsung yang menunjukkan benar-benar telah terjadi kesepakatan kartel. Sayangnya waktu yang tersedia bagi KPPU sangat terbatas, sehingga lembaga itu akan mengalami kesulitan dalam pembuktian kartel.
Kedepan ada baiknya dalam rencana amendemen UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perlu diberikan waktu yang cukup bagi KPPU.
Sumber: Bisnis Indonesia, 23 Juli 2010 ( Oleh: SUTRISNO IWANTONO Ketua/Anggota KPPU Periode 2000-2005)