KPPU dan Investasi Untuk Kesejahteraan
Setiap negara membutuhkan modal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya, baik negara maju maupun berkembang. Namun arus modal masuk melalui investasi membutuhkan lingkungan atau iklim yang mendukung agar investasi memberi keuntungan. Hal ini memancing terciptanya sistem perdagangan baru di mana hampir setiap negara berlomba-lomba untuk menarik investasi dari dalam dan luar negeri melalui kebijakan investasi. Semua negara berkembang yang baru lepas dari rezim otoritarianisme kini berlomba mempercantik diri untuk menjadi negara tujuan investasi.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga persaingan (competition authority) di tanah air lahir dalam konteks ini, dan dengan sendirinya ikut serta dalam menciptakan iklim investasi. Setidaknya, investasi yang berpotensi menimbulkan perilaku persaingan curang sudah diantisipasi sejak dini. Bahkan dibandingkan dengan institusi persaingan usaha di negara lain, KPPU lebih maju dan sistematis sehingga KPPU tidak hanya memberikan kepastian dalam berusaha namun juga memancing investasi dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Dalam konteks ini, tumbuh suburnya investasi dipengaruhi oleh dua faktor: Faktor Pertama, adanya kepastian hukum. Sebagai lembaga independen, KPPU telah melakukan peran tersebut dengan menghukum yang salah dan membebaskan yang benar. Contohnya adalah KPPU membebaskan dugaan adanya kartel semen, namun KPPU menjatuhkan denda dalam kasus kartel fuel surcharge. Jika memang tidak melanggar, KPPU akan membebaskan demi kepastian hukum.
Faktor Kedua, terciptanya persaingan yang sehat di pasar. Persaingan sehat tersebut berupa iklim usaha yang menumbuhkan level playing field. Dalam level playing field terdapat equality yaitu; (1) Equal opportunity, yang berarti kesempatan berusaha yang sama kepada pelaku usaha dimana tidak ada yang didiskriminasi. (2) Equal accessibility, dimana tidak ada pelaku usaha yang dilarang untuk memasuki pasar. Contohnya: tidak ada pelaku usaha yang dilarang untuk mendapat kredit bank. Yang penting adalah setiap pelaku usaha yang mendapat opportunity sudah melalui proses persaingan usaha yang sehat. (3) Equal treatment, yaitu pemerintah memperlakukan setiap pelaku usaha secara sama.
Namun demikian pemerintah harus tetap memiliki nasionalisme dengan mendahulukan koperasi, baru kemudian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta, karena bangsa yang besar selalu berpihak kepada produk dalam negerinya dan usaha ekonomi kerakyatan. Perlindungan itu sendiri dapat dilakukan melalui bea masuk dan subsidi. Disini, perlakuan yang sama bukan berarti sama secara identik. Tetap ada perbedaan, namun harus didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan. Jika dibuat perlakukan yang sama maka tidak akan ada keberpihakan.
Persaingan usaha yang sehat bukan berarti menyamaratakan ekonomi domestik dengan ekonomi internasional atau ekonomi lemah dengan ekonomi kuat. Persaingan usaha bukan untuk menyamaratakan hal itu. Oleh sebab itu, ada persaingan usaha sehat yang bermakna sustainbility yaitu persaingan usaha untuk keberlanjutan. Keberpihakan sesuai dengan konstitusi dan perundang-undangan dimana semua berpayung pada UUD 1945, khusunya Pasal 33 ayat 2.
Persyaratan investasi asing dan investasi dalam negeri tidak harus dibuat sama karena harus ada keberpihakan. Persaingan usaha yang sehat mengakui adanya keberpihakan. Ketika ada kepastian seperti itu, keamanan berinvestasi akan meningkat. KPPU memahami mengapa pelaku usaha di Indonesia tidak begitu percaya dengan KPPU dalam hal pengambilan keputusan. Dalam hal ini, KPPU harus terbuka untuk konsultasi agar pelaku usaha memperoleh pemahaman. Contohnya melalui tukar menukar pikiran antara KPPU dengan KADIN, APINDO, federasi buruh/ karyawan, untuk menguji dampak dari putusan KPPU terhadap lapangan pekerjaan, karena putusan KPPU berdampak pada tingkat kemiskinan dan pengangguran.
Jika kita membutuhkan investasi agar kesejahteraan tercipta, lalu mengapa KPPU menghukum investor yang melanggar? Tentunya karena dia mulai mengganggu tingkat kesejahteraan masyarakat. Bagaimanapun, kita harus kembali kepada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 yang menyatakan bahwa negara punya kuasa, dimana dalam hal ini, KPPU berwenang untuk melindungi kepentingan masyarakat luas.
Contoh konkritnya adalah perilaku kartel yang dapat terjadi antara investor asing dengan investor domestik, oknum pejabat dengan pelaku usaha dan pelaku usaha besar dengan pelaku usaha menengah atau kecil. Kartel juga bisa terjadi pada saat kondisi ekonomi booming, bisa juga terjadi pada saat kondisi ekonomi krisis.
Pasal-pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 mengatakan bahwa KPPU boleh menghukum kartel apabila hal itu sudah berakibat pada tingkat kesejahteraan rakyat yang semakin menurun. Artinya, KPPU tidak sewenang-wenang dalam menghukum. Dalam hal kartel, apa yang kita cari? Yang dicari bukan perjanjiannya saja, seperti yang dilakukan ahli hukum dengan melihat pasal-pasalnya. Dari sudut pandang ekonomi, yang pertama dilihat adalah apa yang dilakukan pelaku usaha sehingga mengakibatkan kerugian masyarakat.
Faktor yang utama adalah harga. Apakah tingkat harga barang atau jasa yang diperdagangkan sudah begitu tinggi?. Secara teori bisa dibandingkan antara harga kartel dengan harga dalam kondisi bersaing sempurna. Bisa juga dengan cara melihat struktur cost-nya. Unit cost untuk memproduksi berapa? Maka keuntungan yang wajar berapa? Atau cara yang ketiga, harga di pasar internasional berapa. Jika harga sudah terlalu tinggi, maka kita dapat melihat profit dari perusahaan. Jika keuntungan lebih dari normal maka dapat disebut sebagai supernormal profit sebagai akibat dari harga yang tinggi. Dalam hal ini, keadilan akan terjadi jika pelaku usaha bersaing sehat. Dengan demikian, masyarakat dapat membeli dengan harga yang lebih murah.
Ketika konsumen sudah kehilangan kesejahteraan, disitulah penilaian KPPU masuk. Konsumen disini diartikan secara luas, yaitu meliputi seluruh rakyat termasuk produsen (kecuali komoditi tertentu). Contohnya, bukan hanya pembeli minyak goreng saja yang konsumen, tetapi yang membeli Crude Palm Oil (CPO) juga termasuk konsumen. Ketika harga barang naik maka yang terjual menjadi sedikit. Kadang dipaksa untuk terjual sedikit untuk mendapatkan untung besar (monopoli). Demikian juga ketika jumlah produksi sedikit dengan harga bahan baku yang sama, maka yang dijual menjadi lebih sedikit sehingga kesejahteraan disana berkurang. Jadi disini KPPU tidak hanya mementingkan konsumen minyak goreng saja.
Ketika harga naik, maka pengeluaran konsumen untuk membeli barang kebutuhan sehari-harinya akan meningkat sehingga tidak dapat digunakan untuk kebutuhan lain. Dengan demikian jumlah orang miskin pun meningkat. Jika KPPU dapat menegakan hukum secara pasti melalui prosedur yang transparan tentunya akan berakibat pada investasi, meskipun penegakan hukum persaingan usaha bukanlah satu-satunya faktor, karena masih ada faktor-faktor pendukung lainnya.
Kesimpulannya, peningkatan iklim investasi harus didorong melalui kinerja bersama, bukan manunggal. Persaingan sehat dapat berdampak positif jika KPPU dapat memberikan kepastian hukum dan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi investasi melalui persaingan usaha yang sehat. Jadi investasi dalam perspektif persaingan adalah investasi yang memberikan kesejahteraan dan bukannya kumpulan pelaku usaha yang curang. (Benny Pasaribu, PhD)