Kiprah Kebijakan Persaingan di Republik Sosialis
THE SOCIALIST REPUBLIC OF VIETNAM. Sebagian besar dari kita mengetahui negara ini dari film-film perang produksi Hollywood atau dari artikel pariwisata yang menceritakan keindahan Ha Long Bay yang melegenda. Namun satu hal yang kita semua harus tahu, negara sosialis ini juga terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki kemampuan terbaik dalam memulihkan kondisi ekonomi pasca perang.
Berada di bawah pendudukan Perancis sejak tahun 1883 hingga tahun 1945, Vietnam akhirnya berhasil mendeklarasikan kemerdekaannya. Namun pertumpahan darah belum terhenti, Vietnam harus berjuang kembali melawan gempuran Perancis hingga tahun 1954. Dan setelah lepas dari mulut buaya, Vietnam langsung diserbu harimau bernama Amerika. Kemelut pertempuran baru berakhir pada tahun 1975, saat tentara Amerika menyerah dan ditarik mundur dari Vietnam.
Selepas itu, pertumbuhan ekonomi Vietnam mengalami pasang surut. Pada akhir 1970, Vietnam mengalami krisis ekonomi yang cukup parah. Reformasi parsial yang diperkenalkan pemerintah pada tahun 1979 gagal membawa perbaikan yang berarti. Kondisi chaos memuncak pada tahun 1986 dan memaksa pemerintah memulai proses reformasi menyeluruh atau yang dikenal dengan istilah Doi Moi.
Doi Moi berhasil mengubah wajah ekonomi Vietnam secara menyeluruh, dari centralized economy menjadi market economy, dimana mekanisme pasar berkembang secara bertahap dan hak-hak produsen/konsumen semakin diperhatikan dan dilindungi oleh negara. Puncak pengakuan terhadap perubahan ini terjadi pada tahun 2004, saat pertumbuhan ekonomi Vietnam meningkat tajam dan membuat negara ini dinobatkan sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat di dunia.
Seiring dengan pengakuan tersebut, Vietnam tidak lupa menyusun kerangka kebijakan ekonomi yang lebih komprehensif dan terintegrasi, yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Persaingan Usaha. Rancangan Undang-Undang Persaingan Usaha Vietnam mencakup lima praktek anti persaingan, yaitu: 1. Perjanjian yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat; 2. Penyalahgunaan posisi dominan dan praktek monopoli; 3. Konsentrasi kekuatan ekonomi yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat; 4. Tindakan persaingan usaha tidak sehat, dan; 5. Perilaku anti persaingan dan peraturan anti persaingan yang dikeluarkan oleh pejabat negara dengan menyalahgunakan kekuasaaannya.
Setelah empat tahun proses drafting yang didampingi oleh UNCTAD dan World Bank, Undang-Undang Persaingan Usaha Vietnam tersebut disahkan oleh Vietnam National Assembly pada tahun 2004. Undang-Undang ini sendiri disusun berdasarkan European Union Competition Law dan berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 2005, dengan Vietnam Competition Authority (VCA) sebagai pemegang mandatnya.
Dibawah Ministry of Industry and Trade, VCA berupaya mewujudkan iklim persaingan usaha yang lebih sehat dan terbuka. Terutama karena maraknya praktek monopoli dan abuse of dominant position yang dilakukan oleh State Own Enterprises di Vietnam. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Trinh Anh Tuan, Director of International Cooperation Board, Vietnam Competition Authority.
Menurut Trinh Anh Tuan, banyak dari State Own Enterprises tersebut memiliki hubungan dekat dengan pejabat negara sehingga mereka memperoleh privilege dan kekebalan tertentu. Menghadapi hal ini, VCA menggunakan strategi yang low-profile untuk menghindari bentrok dengan pejabat negara. Strategi tersebut adalah dengan meng-endorse atau membujuk pihak yang dirugikan oleh State Own Enterprises untuk melaporkan pelanggaran kepada VCA. Dengan demikian, pejabat negara tidak lagi dapat campur tangan, karena perkara tersebut berdasarkan Laporan dan sudah menjadi tugas VCA untuk mengusutnya hingga tuntas. Keadaannya tentu berbeda apabila VCA sendiri yang memperkarakan State Own Enterprises tersebut, dalam hal ini VCA tidak akan mendapat dukungan moril yang cukup dari pihak yang tertindas, karena tidak adanya sense of belonging mereka terhadap perkara yang ditangani.
Tantangan yang dihadapi VCA tidak hanya itu, rendahnya pemahaman pemerintah terhadap kebijakan persaingan juga dirasa sangat mengganggu, terutama dalam upaya VCA mengharmonisasikan regulasi pemerintah dengan kebijakan persaingan. Selama ini, VCA berupaya menjalin hubungan baik dengan pemerintah melalui penandatanganan Memorandum of Understanding terkait information exchange mechanism dengan sector regulator, Ministry of Justice, dan Vietnam National Assembly. Selain itu, VCA juga melakukan financial dialogue secara reguler dengan pemerintah yang bertujuan untuk meminimalisir terjadinya konflik antara VCA dengan pemerintah dalam hal penyusunan regulasi.
Dalam proses legal drafting, pemerintah Vietnam secara prosedural akan mem-publish rancangan undang-undang atau peraturan melalui website resmi untuk mendapatkan public comment. Tanpa melalui proses ini, Undang-Undang atau peraturan tersebut tidak dapat disahkan. Disinilah VCA berperan penting dalam memasukkan unsur kebijakan persaingan pada setiap peraturan dan Undang-Undang terkait yang dikeluarkan pemerintah. Lantas sejauh mana kebijakan persaingan usaha dapat menginfiltrasi regulasi sektoral di Vietnam?.
Jejak-jejak infiltrasi tersebut dapat kita lihat bersama pada regulasi sektor listrik di Vietnam. Pada awalnya, sektor listrik Vietnam dikelola oleh tiga State Owned Power Companies yang merupakan perpanjangan tangan dari Ministry of Energy. Kemudian pada tahun 1995, dalam rangka meningkatkan efisiensi perusahaan sekaligus mengurangi intervensi Ministry of Energy dalam pembuatan keputusan bisnis, tiga perusahaan tersebut digabung menjadi Electricity Corporation of Vietnam (EVN).
Selanjutnya, EVN beroperasi dalam bentuk konglomerat yang memonopoli sektor listrik nasional di bawah kendali Ministry of Industry. Namun perubahan besar-besaran kemudian terjadi, seiring dengan disahkannya Vietnam’s Electricity Law pada tahun 2004. Berdasarkan Electricity Law yang baru, negara hanya memiliki kuasa untuk memonopoli transmisi listrik, regulasi sistem kelistrikan nasional, serta konstruksi dan operasi pembangkit listrik skala besar. Sementara untuk pembangkit listrik skala kecil dan distribusi listrik secara wholesaler maupun retailer, semuanya diserahkan kepada mekanisme persaingan pasar. Mekanisme persaingan ini sendiri dikelola oleh Ministry of Industry yang berhak mengeluarkan lisensi bagi electricity wholesaler, electricity retailer dan lisensi bagi pelaku usaha yang terlibat dalam konstruksi dan operasi pembangkit listrik, serta terlibat dalam kegiatan transmisi dan distribusi listrik kepada jaringan listrik nasional. Sedangkan untuk pembangkit listrik skala kecil, pengelolaan dan pemberian lisensinya diberikan kepada People’s Committees di masing-masing provinsi. Benar-benar infiltrasi kebijakan persaingan usaha yang luar biasa bukan?.
Di kemudian hari, infiltrasi kebijakan persaingan usaha tersebut bukannya tidak membawa hasil. Pada tahun 2010, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menisbatkan Vietnam pada peringkat 11 Top Host Economies for Foreign Direct Investment in 2010-2012 (Source: UNCTAD, World Investment Report 2010). Dengan kata lain, saat ini Vietnam adalah salah satu negara yang paling diinginkan pengusaha sebagai destinasi investasi mereka. Salah satu unsur penilaian UNCTAD sehingga berani menisbatkan Vietnam pada peringkat 11 adalah karena implementasi hukum dan kebijakan persaingan usahanya yang sudah established. Kiprah kebijakan persaingan usaha di Vietnam terbukti sangat berperan dalam menghilangkan entry barrier di dunia usaha, memberi kesempatan berusaha yang sama pada setiap pelaku usaha, menciptakan kenyamanan berinvestasi, melindungi kepentingan dan kesejahteraan konsumen dengan memberantas kartel yang sangat merugikan konsumen, serta membuka pasar terhadap pemain baru dan inovasi baru.
Maka seperti layaknya orang bijak berkata, bangsa yang baik adalah bangsa yang tidak tinggi hati dan selalu mau belajar dari siapapun. Jadi tidak ada salahnya jika kita belajar dari pengalaman negara yang berani memulai proses Doi Moi-nya secara menyeluruh, tidak tanggung-tanggung, tidak tebang pilih, dan tidak melulu memenangkan kepentingan politik di atas segalanya, karena terkadang kepentingan ekonomi kerakyatan seringkali tidak sejalan dengan kepentingan politik. Beranikah Indonesia?.
(Retno Wiranti, Public Relation and Legal Bureau)