Monopoli Langgar Reformasi
Pajak film lokal lima kali lebih mahal. Keberpihakan Menbudpar Jero Wacik terhadap film asing seperti sulit ditutupi. Wajar kalau hal ini kemudian menimbulkan reaksi yang luas dari insan perfilman.
Pernyataan ketidakpedulian Menbudpar Jero Wacik (menteri yang antara lain tugasnya menangani perfilman) bahwa ada monopoli atau tidak di industri film dan adakah afiliasi antara perusahaan importir film yang baru (PT Omega Film) dan importir lama (PT Camila Internusa Film dan PT Satrya Perkasa Esthetika Film) yang dianggap mengemplang pajak, disertai imbauan agar seluruh elemen masyarakat elite dan pejabat agar mendukung masuknya film Hollywood, telah menuai kecaman dari JB Kristanto  tokoh film nasional, dan protes dari Kementerian Keuangan yang disampaikan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang PS Brojonegoro.
Pernyataan Menbudpar di sela-sela pembukaan Pekan Produk Kreatif Indonesia itu menjadi terkesan berlebihan karena disampaikan beberapa saat dan bahkan di tempat yang sama. Pernyataan itu disampaikan seusai Wapres Boediono menyatakan agar pasar domestik dikuasai oleh para pelaku industri kreatif (termasuk industri perfilman).
Wapres menegaskan pelaku industri kreatif untuk pertama-tama mengupayakan penguatan posisi mereka di pasar domestik. Produk industri kreatif pun akan dapat berkembang dan menjangkau pasar secara luas dengan mantap apabila produk tersebut ditopang oleh pasar dalam negeri yang andal.
Monopoli impor, fakta bahwa film impor dan monopoli atas film impor serta dominasi kelompok pemilik jaringan bioskop yang sekaligus importer (monobuyer or mono supplier) film Hollywood, selama ini telah menekan perkembangan film nasional baik secara kuantitas maupun kualitas.
Di Amerika Serikat, negara penjunjung tinggi kebebasan dan ekonomi liberal, monopoli itu diharamkan dan keberadaannya menjadi momok, walau terjadi secara alamiah sekalipun. Karena itu monopoli itu harus ditiadakan, kalau perlu secara paksa dan disertai dengan sanksi yang berat.
Tentunya monopoli dilarang dan tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Apalagi salah satu perjuangan gerakan reformasi 13 tahun silam adalah menghapus monopoli. Karena itu, sangat lucu dan tidak pas bila Menbudpar kurang peduli dan mendiamkan atau bahkan mendukung eksistensi monopoli di perfilman nasional.
Alasan yang dikemukakan oleh Menbudpar bahwa film impor masih perlu karena kurangnya pasokan film nasional untuk mengisi 600 layar bioskop yang ada di Indonesia, kalau film Hollywood tidak cepat masuk, maka dalam waktu 2-3 bulan ke depan akan ada penutupan 50% bioskop. Itu membawa konsekuensi hilangnya lapangan pekerjaaan, seperti penjual tiket, petugas keamanan, penjual pop corn, dan lainnya.
Tapi menurut hemat kami pernyataan itu terasa sangat menyederhanakan permasalahan. Hal itu merupakan suatu kesimpulan yang kurang berdasar terutama jika dibandingkan dengan data dan fakta yang ada di industri perfilman nasional.
Bagaimana dapat menyimpulkan bioskop dan film lokal lesu gara-gara film Hollywood tidak beredar di Indonesia? Adakah perbandingan data sebelum dan sesudah film Hollywood tidak diedarkan di Indonesia? Selama ini Kemenbudpar tidak memiliki data tersebut dan terkesan tidak peduli terhadap tidak transparannya data jumlah penonton dan hasil edar film.
Terlepas dari valid tidaknya alasan yang mendasari pernyataan Menbudpar Jero Wacik, tentunya tidak bijaksana menghalalkan segala cara untuk membela masuk kembalinya film Hollywood ke Indonesia.
Kalau mau merunut biang kerok kisruhnya perfilman karena adanya perlakuan berbeda antara beban pajak film asing dan film lokal. Wakil Ketua Badan Pusat Perfilman Nasional (BP2N) Rudi S Sanyoto mengungkapkan selama ini beban pajak film lokal bisa mencapai 10 kali pajak produksi film asing.
Kalau film nasional dengan produksi Rp5 miliar, pengenaan pajaknya mencapai Rp500 juta. Sementara film Hollywood memproduksi senilai Rp3 triliun, datang ke sini hanya bayar Rp2 juta per kopi atau setara dengan Rp100 juta.
Kita bisa berkaca pada penerapan pajak film asing di Thailand. Bea masuk untuk rol film di Thailand sebesar US$1 per meter, sedangkan di Indonesia hanya US$ 0,43 per meter, sehingga secara keseluruhan satu kopi film asing di Thailand bisa dikenakan hingga US$30 juta. Kalau 50 kopi, harus membayar US$1,5 miliar, belum termasuk PPN dan PPh.
Oleh sebab itu, wajarlah kalau film asing merajai perfilman nasional. Dampak lanjutannya, dalam satu periode, ketika film dalam negeri hanya 80 judul film yang beredar, film impor sudah 200 judul. Sedangkan di Thailand, ketika film dalam negeri yang beredar sebanyak 55 film, hanya terdapat 80 film asing yang turut bersaing.
Dengan demikian, sikap pemerintah khususnya Ditjen Bea Cukai yang memasukkan royalti dalam perhitungan bea masuk impor film asing ke Indonesia sungguh sangat tepat dan diharapkan dapat menyehatkan perfilman nasional.
Paling tidak ada tiga hal mendasar yang tidak boleh dihalalkan dengan alasan apapun juga, yaitu pertama, ketidaktaatan terhadap peraturan yang ada, baik terhadap ketentuan larangan melakukan monopoli maupun terhadap ketentuan untuk membayar pajak dengan benar. Kedua, kesengajaan menghindari kewajiban membayar pajak, apalagi dilakukan terang-terangan dengan mendirikan perusahaan baru dengan menggunakan nama pegawai biasa, bahkan mantan sopir, sebagai pemegang saham dan direksinya.
Ketiga, pembiaran terhadap kesalahan yang ada. Sepanjang peraturan dan UU belum diubah, maka dispensasi atas dasar apa pun, termasuk tekanan atau lobi, tidak pantas dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, seyogyanya insan film, masyarakat, para elite dan pejabat Indonesia, bersinergi untuk mendudukkan persoalan secara benar dan proporsional.
Keberadaan film impor, termasuk film Hollywood, adalah suplisi, sehingga kekurangan pasokan film harus dijawab dengan penggalangan dana dan daya serta tekad untuk memproduksi film nasional sebanyak dan sebagus mungkin. Janganlah kita takut menderita sementara waktu sehingga menyerahkan kedaulatan dan tunduk kepada tekanan, memaksakan kehadiran film Hollywood dengan melanggar UU dan peraturan yang ada.
Marilah kita dukung dan wujudkan semangat antimonopoli yang diperintahkan oleh UU dan semangat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang coba dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan untuk menyetarakan beban pajak antara film nasional dan film impor.
Marilah buktikan bahwa kita mampu dan dapat menghargai karya bangsa sendiri. Galanglah para penonton untuk membanjiri pertunjukan film nasional, sehingga pengusaha bioskop tidak merengek karena takut rugi karena selama ini tidak ada kata ’rugi’ di kamusnya.
Keberhasilan Thailand dalam menghadapi pemboikotan Motion Picture Association (MPA) seharusnya menginspirasi Menbudpar untuk tidak gampang menyerah atau mengambil jalan yang paling mudah dengan memberikan apa saja yang diminta oleh MPA. Apalagi kalau harus melanggar aturan dan mengabaikan dukungan dari Kementerian Keuangan yang dengan ketegasannya menegakkan aturan tentang perpajakan dan tentang peniadaan monopoli di industri film Indonesia.
Pernyataan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nawir Messi bahwa KPPU akan membongkar kembali dugaan monopoli di perfilman nasional, atas inisiatif KPPU sendiri dan bukan atas laporan masyarakat. Cukup membuktikan bahwa monopoli memang diduga keras terjadi pada perfilman nasional. Karena itu monopoli dengan segala bentuknya pantas diperangi dan ditiadakan dari bumi indonesia. Untuk itu hasil kerja KPPU akan menarik. Kita tunggu dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sumber: Bisnis Indonesia, 14 Juli 2011