JFTC-KPPU Workshop: Indirect Evidence Kontroversi dan Analisanya dalam Hukum Ekonomi

KPPU.go.id – Kartel adalah bentuk kejahatan ekonomi yang seringkali menjadi kontroversi belakangan ini. Bukan hanya karena dampaknya yang begitu luas terhadap masyarakat konsumen, namun juga karena pembuktiannya yang sulit untuk disajikan secara rigid di mata hukum.
Siapapun yang mengenal dengan baik jenis kejahatan ini, pasti mengetahui betapa sulitnya menemukan hardcore evidence dari kartel, jika tidak mau dikatakan mustahil. Karena pelaku usaha yang melakukan kolusi tidak lagi hidup di jaman batu, dimana segala perjanjian harus dituangkan mentah-mentah di atas kertas bertandatangan dan berstempel.
Dalam upaya menjerat kartel di tengah-tengah ketidakmungkinan menemukan hardcore evidence itulah, muncul sebuah evolusi pembuktian bernama Indirect Evidence. Meskipun diklaim sering bersifat sumir, namun dalam sesi pelatihan “Standart of Proof Competition Law Infringements: An Economic Law Analysis” yang diadakan KPPU dan JICA bagi para Investigator KPPU pada 28 Februari – 1 Maret 2012 di Jakarta, Prof. Ningrum Natasya Sirait mengatakan bahwa jenis pembuktian ini bukanlah tidak mungkin untuk diterapkan dalam upaya KPPU memerangi kartel.
“Namun bagaimanapun, penerapan Indirect Evidence atau Circumstantial Evidence harus dilakukan melalui pendekatan yang konsisten dalam menerapkan metode pembuktian ekonomi dan menggunakan analogi fakta yang hampir sama pada setiap kasus kartel”, tegas Prof Ningrum.
Indirect Evidence atau Circumstantial Evidence sendiri menurut Pedoman Pasal 5 UU No. 5/1999 adalah suatu bentuk bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan (harga, pasokan, pembagian wilayah). Dimana Indirect Evidence ini dapat digunakan sebagai pembuktian terhadap kondisi/keadaan yang dapat dijadikan dugaan atas pemberlakuan perjanjian lisan. Bentuk Indirect Evidence sendiri terdiri atas Bukti Komunikasi dan Bukti Ekonomi.
Dalam Policy Brief edisi Juni 2007, OECD menyatakan bahwa “Circumstantial evidence (Indirect evidence) can be difficult to interpret, however. Economic evidence especially can be ambigous, consistent with either concerted or independent action. The better practice is to consider circumstantial evidence in a case as a whole, giving it cumulative effect, rather than on an item-by-item basis, and to subject economic evidence to careful economic analysis.” (OECD, Prosecuting Cartels Without Direct Evidence of Agreement, Policy Brief, June 2007).
Andi Fahmi, selaku Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sendiri mengatakan bahwa analisis ekonomi dimungkinkan dalam pembuktian kartel. Analisis itu sendiri berguna dalam menentukan motif dan atau memprediksi dampak dari suatu perilaku (behavior).
Analisis ekonomi dalam penentuan motif dan dampak tersebut terbagi atas analisis insentif yang bertujuan untuk melihat apakah suatu perusahaan tertarik atau termotivasi untuk melakukan suatu perilaku yang bersifat strategi, analisis kemampuan yang bertujuan untuk melihat apakah sebuah perusahaan mampu untuk melakukan perilaku strategis yang efektif dan analisis untung rugi yang bertujuan untuk melihat apakah dampak negatif suatu perilaku strategis lebih besar dari dampak positifnya. Ketiga analisis ini tidak harus digunakan sekaligus dalam pembuktian kasus. Contohnya, tidak semua kasus membutuhkan analisa untung rugi.
Selain ketiga analisis tersebut, pembuktian kartel juga harus memperhatikan apa yang disebut sebagai Plus Factor. Plus factor ini diantaranya terdiri atas analisa terhadap rasionalisasi penetapan harga, analisa struktur pasar, analisa data kinerja dan analisa penggunaan fasilitas kolusi.
Dalam upaya pembuktian, tidak seluruh alat analisa tambahan (plus factor) di atas harus dipenuhi. Komisi dapat memutuskan bahwa alat analisa tertentu sudah cukup digunakan untuk membuktikan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
Sementara itu, Kepala Biro Kajian KPPU Taufik Ariyanto mengatakan bahwa penggunaan analisa ekonomi sebagai bentuk Indirect Evidence membutuhkan data dan informasi ekonomi yang bersifat ekstensif. Selain itu, dibutuhkan sosok investigator yang menguasai betul ilmu ekonometriks serta analisa non-parametrik dan multivariat. “Putusan KPPU dengan analisa ekonometrik ini merupakan keniscyaan yang harus dipahami oleh semua pihak sehingga dapat memberikan kepastian hukum yang kuat,” pungkasnya. (RW)