Gelombang Merger Melanda: Bangga atau Waspada?
Gelombang Merger Melanda: Bangga atau Waspada?
Merger/akuisisi merupakan topik yang tengah populer dalam dunia usaha. Aktivitas merger/akuisisi di Indonesia sebenarnya sudah dikenal sejak awal berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (“UU 1/1995”). Namun, secara praktis, aktivitas merger sudah dikenal secara sektoral khususnya di bidang perbankan, jauh sebelum berlakunya UU 1/1995. Istilah merger menjadi semakin populer semenjak merger empat bank milik pemerintah yang kemudian menghasilkan Bank Mandiri pada tahun 1998.
Secara kuantitas, aktivitas merger/akuisisi mengalami kenaikan yang cukup signifikan seiring dengan semakin populernya istilah merger/akuisisi itu sendiri di kalangan pelaku usaha. Merger/akuisisi merupakan suatu langkah restrukturisasi perusahaan yang dipercaya mampu mendatangkan keuntungan dalam waktu yang relatif singkat. Namun, dilihat dari sisi persaingan, merger/akuisisi merupakan aktivitas yang perlu mendapat perhatian khusus karena berpotensi mengurangi tingkat persaingan di pasar. Dengan mempertimbangkan kekhawatiran adanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang diakibatkan oleh aktivitas merger/akuisisi, pada tahun 2009 KPPU mengeluarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan (“Perkom 1/2009”).
Perkom 1/2009 yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 13 Mei 2009 tersebut merupakan peraturan pelaksanaan yang sifatnya “insidentil” dari ketentuan Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”). Peraturan ini dibuat dalam rangka mengisi kekosongan hukum akibat belum berlakunya peraturan pemerintah sebagai acuan teknis pelaksanaan merger/akuisisi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 29 ayat (2) UU 5/1999. Karena sifatnya yang insidentil dan sementara tersebut, Perkom 1/2009 dirancang guna memfasilitasi pelaku usaha untuk melakukan notifikasi merger/akuisisi secara sukarela (voluntary).
Guna mengawasi pelaksanaan Perkom 1/2009, KPPU melakukan langkah restrukturisasi internal dengan mendirikan Bagian Notifikasi dan Penilaian Merger dan Akuisisi di bawah Direktorat Penegakan Hukum pada tahun yang sama. Sejak pemberlakuannya, Perkom 1/2009 mendapat respon yang cukup positif dari kalangan pelaku usaha. Terbukti, sepanjang tahun 2009 KPPU telah menerima sekurang-kurangnya 5 (lima) notifikasi merger/akuisisi dan semua dilakukan secara sukarela.
Seiring dengan semakin berkembangnya aktivitas merger/akuisisi yang terjadi di Indonesia, maka KPPU melakukan langkah restrukturisasi organisasi secara besar-besaran dengan mendirikan Biro Merger yang khusus menangani notifikasi dan penilaian merger, akuisisi dan konsolidasi. Dalam waktu yang hampir bersamaan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“PP 57/2010”). Peraturan ini merupakan angin segar dalam pelaksanaan pengawasan ketentuan Pasal 28 dan Pasal 29 UU 5/1999, terlebih setelah 11 tahun penantian berlangsung.
Sejak berlakunya PP 57/2010, KPPU mulai melakukan pencatatan secara sistematis terhadap aktivitas merger/akuisisi yang terjadi baik di dalam maupun di luar Indonesia. Pencatatan ini merupakan konsekuensi logis dari penerapan aturan PP 57/2010 yang mewajibkan pelaku usaha untuk melakukan notifikasi pasca merger/akuisisi (“Pemberitahuan”). Namun, selain kewajiban notifikasi pasca merger/akuisisi, PP 57/2010 juga memfasilitasi pelaku usaha untuk melakukan notifikasi pra merger/akuisisi yang sifatnya sukarela (“Konsultasi”) sebagaimana dahulu diatur dalam Perkom 1/2009. Secara literal, PP 57/2010 merupakan jalan tengah antara UU 5/1999 yang sifatnya mandatory post-merger notification dengan Perkom 1/2009 bersifat voluntary pre-merger notification.
Peraturan teknis terkait pelaksanaan PP 57/2010 diatur dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilaihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“Perkom 13/2010”), yang kemudian diubah dengan Perkom 10/2011.
Selama kurun waktu dua tahun terakhir, terutama setelah berlakunya PP 57/2010, KPPU mencatat puluhan notifikasi merger/akuisisi. Bahkan, secara kuantitas jumlah aktivitas merger/akuisisi semakin bertambah seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional dan internasional. Boleh dikatakan, tahun 2010 dan 2011 merupakan tahun-tahun dimana gelombang merger melanda Indonesia. Bahkan mungkin, sepanjang sejarah merger/akuisisi di KPPU, gelombang merger di Indonesia mengalami puncaknya pada masa sekarang dimana terdapat banyak pelaku usaha yang melakukan aktivitas merger/akuisisi. Bahkan, dalam trimester pertama tahun 2012, jumlah notifikasi yang masuk mengalir sangat deras. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat di masa mendatang.
Dari sekian banyak notifikasi yang masuk, terdapat suatu karakteristik yang unik dalam aktivitas merger/akuisisi yang tercatat di KPPU. Krisis yang terjadi di daratan Eropa dan Amerika Serikat dewasa ini menyebabkan tren peningkatan efisiensi di kalangan pelaku usaha, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gelombang merger/akuisisi di Indonesia. Uniknya, yang terjadi bukan tren peningkatan gelombang merger/akuisisi antar perusahaan dalam negeri, melainkan tren merger/akuisisi yang dilakukan di luar negeri namun berdampak kepada pasar nasional.
Tren menunjukkan aktivitas merger/akuisisi melibatkan pelaku usaha asing baik dalam porsinya sebagai pihak pengambilalih (acquiring company), sebagai pihak yang diambilalih (acquired company), maupun sebagai pihak ketiga yang memiliki porsi cukup besar dalam transaksi yang berdampak pada pasar Indonesia.
Tercatat bahwa sepanjang tahun 2010, terdapat sekurang-kurangnya 7 notifikasi merger/akuisisi yang masuk, 3 diantaranya melibatkan pelaku usaha asing. Begitu pula pada tahun 2011, terdapat 45 notifikasi merger/akuisisi yang masuk dan 18 diantaranya melibatkan unsur asing. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga aktivitas merger/akuisisi di Indonesia melibatkan unsur asing. Hal tersebut merupakan dampak dari fenomena penguatan aliansi strategis yang dirancang untuk menghadapi kompetisi global.
Kewajiban pemberitahuan merger/akuisisi tidak hanya terbatas pada aktivitas merger yang dilakukan oleh pelaku usaha domestik saja, tetapi juga aktivitas merger yang melibatkan pelaku usaha asing. Hal ini sesuai dengan ketentuan Perkom 10/2011 yang mendefinisikan merger/akuisisi asing ialah merger/akuisisi yang memenuhi faktor-faktor sebagai berikut:
- Merger, akuisisi, dan konsolidasi dilakukan di luar yurisdiksi Indonesia.
- Merger, akuisisi, dan konsolidasi yang berdampak langsung pada pasar Indonesia, yaitu:
- Seluruh pihak yang melakukan merger, akuisisi, dan konsolidasi melakukan kegiatan usaha di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui perusahaan di Indonesia yang dikendalikannya; atau
- Hanya satu pihak yang melakukan merger, akuisisi, dan konsolidasi melakukan kegiatan usaha di Indonesia namun pihak lain di dalam merger, akuisisi, dan konsolidasi memiliki penjualan ke Indonesia
- Merger, akuisisi, dan konsolidasi yang memenuhi batasan nilai.
- Merger, akuisisi, dan konsolidasi antarperusahaan yang tidak terafiliasi.
Mengapa merger/akuisisi asing menjadi kewenangan KPPU? Karena hal ini selaras dengan definisi pelaku usaha sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 butir 5 UU 5/1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Gelombang merger/akuisisi asing membawa dampak positif, yakni masuknya arus investasi ke Indonesia. Hal ini merupakan capaian yang baik bagi peningkatan investasi Indonesia, sebab perekonomian nasional memperoleh sokongan permodalan yang cukup kuat. Arus investasi yang mengalami peningkatan memungkinkan roda perekonomian terus berputar mengikuti hantaman arus globalisasi di luar sana. Namun, masuknya asing ternyata tidak serta merta membawa dampak yang kesemuanya positif.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan pasar yang sangat besar bagi para produsen dunia. Dengan jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa, sudah barang tentu Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial. Kondisi ini sedikit banyak memancing para pemilik modal untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Iklim investasi yang masuk ke Indonesia menjadi semakin meningkat. Secara ekonomis, pertumbuhan investasi Indonesia merupakan perbaikan ekonomi yang patut diacungi jempol karena meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara agrerat.
Namun, investasi tak selamanya terdengar hebat dan mengagumkan. Tidak sedikit kalangan yang menilai bahwa investasi asing yang masuk ke Indonesia semata-mata merupakan suatu bentuk penjajahan era baru dalam bidang ekonomi. Opini ini tidak mengherankan, sebab semakin banyak perusahaan lokal yang diambilalih oleh pihak asing. Fenomena ini kemudian melahirkan pemikiran mengenai datangnya penjajahan ekonomi gaya baru dari negeri asing.
Alasan efisiensi sering kali menjadi alibi pelaku usaha dalam melakukan merger/akuisisi. Namun pada saat yang bersamaan, merger/akuisisi membawa dampak lain yang terselubung. KPPU, di lain pihak, tidak dapat menghambat gelombang merger yang bergelung di negeri kita. Karena walau bagaimanapun, merger/akuisisi selalu menghasilkan gain bagi pihak yang bersangkutan, sesuai adagium “dua tambah dua sama dengan lima”.
Jadi, haruskah kita bangga dengan datangnya gelombang merger ini? Ataukah justru harus waspada?
Novi Nurviani, S.H., M.H.
Investigator Madya
Bagian Pengujian Substansi
Biro Merger