Persaingan versus Kebijakan?
Persaingan versus Kebijakan?
Sengaja penulis mengambil judul di atas untuk menggambarkan sedikit pemahaman yang seringkali mendikotomi keduanya. Seakan-akan,jika persaingan usaha ada maka kebijakan tidak diperlukan lagi demikian pula sebaliknya. Padahal sebenarnya persaingan dan kebijakan bersifat komplementer yang saling melengkapi dimana persaingan mendorong kebijakan dan kebijakan memberi ruang bagi bekerjanya persaingan.
UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha/UUPU) membentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melalui atribusi beberapa tugas pengawasan (vide pasal 35). Salah satu tugas dimaksud adalah melakukan penegakan hukum dan penyampaian saran kebijakan kepada Pemerintah. Jika penegakan hukum yang meliputi penanganan perkara oleh KPPU maka pelaksanaan saran dilakukan oleh Pemerintah . Meskipun demikian, karena UUPU menentukan bahwa KPPU dibentuk untuk mengawasi pelaksanaannya (vide pasal 30) maka KPPU sebenarnya bertugas pula mengawasi penegakan dan implementasi kebijakan persaingan. Dan, karena dasar pengawasan kedua hal ini berdasarkan UUPU maka hukum formal dan substansi kedua hal ini harus pula berdasarkan UUPU.
Pengaturan atau peraturan ?
Sebagaimana dimaklumi, UUPU mengatur secara lengkap hukum formal dan substansi penegakan hukum yang harus dijalankan oleh KPPU namun tidak secara tegas mengatur hukum formal dan hukum substansi penyampaian saran dan pertimbangan kepada Pemerintah. Hukum formal untuk penegakan hukum diatur dalam pasal 36-48 sementara hukum substansi meliputi pasal-pasal dalam bab III dan bab IV yang mengatur tentang Perjanjian dan Kegiatan yang dilarang dan bab V mengenai penyalahgunaan posisi dominan. Rumusan pasal-pasal substansi UUPU ini bersifat larangan atau pro habetur yang mengandung arti : “jika tidak dilarang berarti boleh”. Maksudnya, UUPU membenarkan apapun bentuk aksi korporasi pelaku usaha sepanjang tidak dilarang UU.
Tidak diaturnya hukum formal dan substansi kebijakan persaingan tidak berarti bahwa tidak ada dasar hukum mengenai konstruksi kebijakan persaingan (competition policy framework) yang dapat disarankan KPPU kepada Pemerintah. Dengan panafsiran sistematis dapat diketahui bahwa sebenarnya hukum substansi kebijakan persaingan telah diatur dalam UUPU. Hal ini dapat dilihat dari konstruksi UUPU yang mengatur istilah (hukum) pengaturan pada Bab II tentang Asas dan Tujuan yang notabene merupakan Bab payung bagi pasal-pasal substansi berikutnya. Pasal 3 Bab II UUPU merumuskan bahwa tujuan pembentukan UU adalah (a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (b) mewujudkan kepentingan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil; (c) mencegah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat; (d) meningkatkan efisiensi usaha.
Format kebijakan yang berupa pengaturan ini, secara tehnis, tidak berbeda dengan definisi Competition policy yang disusun Asean Regional Guidelines on Competition Policy (AEGC 2010) :” Competition policy can be broadly defined as a governmental policy that promotes or maintains the level of competition in markets, and includes governmental measures that directly affect the behaviour of enterprises and the structure of industry and markets. Competition policy basically covers two elements: first, a set of policies that promote competition in local and national …the second, known as competition law, comprises legislation, judicial decisions and regulations specifically aimed at preventing anti-competitive business practices, abuse of market power and anti-competitive mergers.
Set of policies adalah rangkaian tindakan administratif (kebijakan) Pemerintah dalam bentuk peraturan (regeling) dan atau keputusan/KTUN (beschikking), sementara Legal acts dalam konteks Indonesia adalah tindakan implementasi hukum formal dan substansi hukum persaingan usaha oleh lembaga penegak hukum yang dalam hal ini KPPU dan Pengadilan serta Kepolisian dalam sistem penegakan hukum persaingan terintegrasi (Integrated competition justice system). Jadi kebijakan persaingan (competition policy) sebenarnya adalah pengaturan sebagaimana disebut pasal 3 huruf b UUPU yang meliputi penegakan hukum dan kebijakan Pemerintah baik yang berbentuk peraturan atau Keputusan.
Komplementer
Penempatan “pengaturan” pada bab Asas dan Tujuan UUPU menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan persaingan dan penegakan hukum harus selalu menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil sebagaimana diatur pasal 3 huruf b UUPU ini. Selain itu, kedua pengaturan persaingan ini,konsisten dengan rumusan pro habetur UUPU,tidak boleh memfasilitasi atau bahkan menyebabkan perjanjiian dan kegiatan yang dilarang serta penyalahgunaan posisi dominan.
Dengan konstruksi ini dapatlah dipahami bahwa karena dasar hukum pengaturannya sama, tidak tepat jika ada pendapat yang menyebutkan bahwa UUPU adalah UU “milik” KPPU saja sehingga pemerintah sebagai regulator tidak perlu mempertimbangkan prinsip dan hukum substansi dari UU ini. Lebih jauh, tidak benar pula bila masih ada yang beranggapan bahwa kebijakan pemerintah dan penegakan hukum persaingan adalah bersifat saling menggantikan, seakan-akan kalau sudah ada peraturan sektoral, hukum persaingan tidak diperlukan lagi. Sedemikian juga, jika di satu pasar telah ada persaingan maka tidak diperlukan kebijakan Pemerintah lagi.
Dalam konteks inilah kita memahami eksistensi kebijakan subsidi, pengaturan harga oleh Pemerintah, dan penyediaan usaha untuk usaha kecil serta lembaga penyangga komoditas tertentu dalam hubungannya dengan bentuk pasar persaingan yang dikehendaki UUPU. Jadi jika KPPU mendorong perlunya badan penyangga harga komoditas tertentu sebagai contoh, hal ini tidak berarti KPPU “mengkhianati” tugasnya mengawasi persaingan karena mendorong accessibility dan kesempatan usaha (dalam bentuk tersedianya harga komoditas yang terjangkau) bagi pelaku usaha kecil atau menengah ini pada dasarnya juga merupakan tugas yang tidak kalah penting dari komisi negara ini.
A. Junaidi, SH, MH,LL.M, M.Kn
(Kepala Biro Humas dan Hukum)