KPPU Melindungi Akses Usaha Kecil Yang Mau Hilang Dimakan Waktu

www.tip.web.id

Teori ekonomi persaingan secara umum bertolak dari perspektif bahwa persaingan pasar merupakan instrumen utama pencapaian efisiensi usaha baik dalam pengertian productive efficiency ataupun dynamic efficiency. Fakta bahwa akan terdapat pelaku usaha yang tidak efisien yang akan terlempar dari pasar akibat persaingan merupakan keniscayaan mengingat hukum persaingan dibentuk untuk menjaga persaingan dan bukan pesaing. Karenanya, dalam perspektif ini, otoritas persaingan selalu bekerja menegakkan hukum untuk menjaga agar dunia usaha selalu berada dalam kondisi persaingan ini. Dengan perspektif teori ini pula yang menjadi alasan mengapa masalah perlindungan akses usaha kecil tidak menjadi perhatian dari teori persaingan ini.
UU No.5/1999 tentang  Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang merupakan dasar kebijakan persaingan usaha di Indonesia (A. Junaidi,2012)  memiliki sistem pengaturan yang khas dalam menyikapi hubungan persaingan usaha dan usaha kecil ini. Berbeda dengan teori ekonomi persaingan di atas, UU No. 5/1999  justru menempatkan perlindungan dan jaminan pengaturan kesempatan usaha kecil sebagai bagian dari kebijakan persaingan. Konsekuensinya, KPPU sebagai Komisi Negara yang menjadi otoritas persaingan di negeri ini turut pula bertugas dan bertanggung jawab atas pelaksanaan pengaturan ini.
Pengaturan perlindungan akses usaha pelaku usaha kecil ini dapat kita lihat dalam: pertama, tujuan pembentukan UUNo.5/1999 yang menggariskan terwujudnya iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil (vide pasal 3 b).  Artinya, UU menghendaki adanya kebijakan persaingan usaha yang secara sistematis mempertahankan kesempatan berusaha yang sama antara pelaku usaha besar, menengah dan kecil ini. Hal yang dari sudut penegakan hukum menjadi tugas KPPU dan dari sudut kebijakan menjadi tugas regulator dalam hal ini Pemerintah untuk mewujudkannya.
Bentuk perlindungan akses ini adalah kesadaran dari legislative untuk memberikan pengecualian bagi pelaku usaha kecil dari penerapan UU sebagaimana diatur pasal 51 huruf h.). Dengan demikian, larangan dan sanksi dalam UU ini tidak berlaku bagi pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil. Dengan penafsiran sistematis, definisi usaha kecil ini dapat diketahui dari UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UU UKM). UU ini menentukan bahwa usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan kekayaan bersih di luar tanah dan bangunan lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
Dengan pengecualian ini, Legislatif nampaknya berharap ada kesempatan bagi pelaku usaha kecil mengembangkan diri untuk tidal kalah berkompetisi atau setidaknya kesempatan usaha yang sama dengan pelaku usaha menengah dan besar. Dalam penerapan hukum, KPPU memiliki visi yang sama dengan pertimbangan Legialtif ini. Hal ini terlihat dari komitmen KPPU dalam mengawasi tender khususnya dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dalam arti jika terdapat kebijakan khusus dari pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Perpres No.54 tahun 2010 tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah yang secara khusus mengalokasikan suatu proyek untuk UKM, namun ternyata dalam prakteknya dimenangkan oleh pelaku usaha non UKM maka KPPU akan menilainya sebagai salah satu indikasi kuat telah terjadinya persekongkolan tender sebagaimana yang dilarang Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini sebagai bentuk pengawalan dan jaminan KPPU atas kesempatan usaha pelaku usaha kecil sebagaimana diperintahkan UU No.5/1999.
Contoh lain dari pelaksanaan tugas ini adalah ketika menyikapi terdesaknya pelaku pasar tradisional yang sebagian besar pelaku usaha kecil karena persaingan dengan minimarket dengan sistem waralaba. KPPU melalui putusan perkara No. 3/KPPU-L-I/2000 terkait ekspansi usaha minimarket dalam diktumnya: “ memerintahkan kepada Terlapor : …(2) untuk menghentikan ekspansinya di pasar-pasar tradisional yang berhadapan langsung dengan pengecer kecil dalam rangka mewujudkan keseimbangan persaingan antar pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil, …(4)  Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk segera menyempurnakan dan mengefektifkan pelaksanaan peraturan dan langkah-langkah kebijakan yang meliputi antara lain dan tidak terbatas pada kebijakan lokasi dan tata ruang, perizinan, jam buka, dan lingkungan sosial.” Pada perkembangannya, putusan ini menjadi dasar dikeluarkannya Perda No.2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta di Propinsi DKI Jakarta yang di dalamnya mengatur kebijakan jarak dan jam buka pasar swasta  termasuk minimarket ini.
Bahkan dengan perspektif yang sama KPPU juga menyarankan kepada Pemerintah melalui Surat Saran Nomor 43/K/III/2010 tanggal 31 Maret 2010 yang salah satu intinya menyarankan kepada Pemerintah agar segera membentuk UU Retail yang memperkuat kewenangan Pemerintah khususnya Pemerintah Pusat dalam mengawasi dan melaksanakan kebijakan dan intervensi langsung dalam pengaturan retail berupa pengaturan Zonasi, pembatasan waktu buka atau bahkan pembatasan jumlah gerai yang dapat dibuka. Hal ini perlu untuk memperkuat implementasi peraturan yang ada yaitu Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa KPPU sebagai bagian dari tugas atributifnya tidak sekedar concern pada permasalahan persaingan semata namun juga turut pula bertanggung dan ingin selalu memastikan bahwa pelaku usaha kecil tetap memiliki  akses usaha yang sama dan seimbang dengan pelaku usaha lainnya.
A. Junaidi, SH, MH, LL.M, M.Kn
Kepala Biro Humas dan Hukum