Perpres Ritel vs Persaingan Usaha
Ritel merupakan sektor industri yang sangat populer dan sudah mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia turun-temurun sejak dahulu kala. Ditandai dengan tersebarnya warung dan toko kelontong di hampir tiap daerah, mulai dari pelosok hingga kota besar. Industri ini tumbuh dan berkembang sedemikian cepat seiring dengan pertambahan laju penduduk. Industri ini juga semakin populer sejak masuknya ritel modern di Indonesia, yakni ketika Indomart marak tumbuh bak jamur di musim hujan, hingga yang paling fenomenal ketika ritel asing asal Perancis, Carrefour, masuk ke Indonesia dengan ekspansi usahanya yang cukup mengundang kontroversi.
Fenomena tersebut rupanya secara perlahan mengakibatkan pelaku usaha domestik satu-persatu kolaps tidak berdaya, terlebih lagi pelaku usaha domestik dengan skala yang kecil. Tidak mengherankan jika industri ini mendapat sorotan yang cukup serius dan banyak diperbincangkan oleh berbagai kalangan, mulai dari instansi pemerintah, pelaku usaha, hingga para akademisi. Banyak kalangan yang menghendaki pemerintah untuk turun tangan mengatasi permasalahan tersebut. Kondisi ini kemudian menggelitik pemerintah untuk mengatur permasalahan ini dalam suatu bentuk ketentuan dengan maksud melindungi kepentingan usaha kecil secara nasional. Namun, ketika pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (“Perpres 112/2007”) pada tanggal 27 Desember 2007, peraturan ini tidak kalah mengundang kontroversi.
Latar belakang dikeluarkannya Perpres 112/2007 oleh pemerintah pada dasarnya ialah dengan semakin berkembangnya usaha perdagangan eceran dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat serta saling menguntungkan. Bahwa untuk membina pengembangan industri dan perdagangan barang dalam negeri serta kelancaran distribusi barang, perlu memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, serta norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern serta pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen. Tujuan peraturan ini pada dasarnya sangat baik, namun dalam implementasinya ketentuan ini sulit terealisasi. Mengapa? Karena sulitnya melakukan pengawasan atas pelaksanaan ketentuan perpres tersebut.
Perpres 112/2007 mengatur secara teknis mengenai pembagian usaha antara pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Pada beberapa ketentuan pasal, Perpres 112/2007 terlalu mengatur dengan sangat rigid. Misalnya, terdapat pengaturan mengenai lokasi dan syarat-syarat pendirian, luas bangunan, jam operasi, ketentuan pemasokan barang, perizinan, serta pembinaan dan pengawasan untuk pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Peraturan ini dibuat dengan maksud untuk melindungi dan mengembangkan usaha kecil serta sebagai suatu upaya pembinaan terhadap usaha kecil supaya bisa maju dan berkembang. Namun jika dilihat dari sisi persaingan, pengaturan yang rigid seperti itu justru menghambat pelaku usaha untuk berusaha dan berinovasi, terutama bagi pusat perbelanjaan dan toko modern.
Peraturan yang membatasi operasional pusat perbelanjaan dan toko modern tersebut secara tidak langsung mengakibatkan terhambatnya kegiatan berusaha dan berinovasi. Hal ini kurang sejalan dengan misi KPPU yaitu menegakan hukum persaingan dengan jalan menjamin kebebasan berusaha dan melakukan inovasi guna bertahan dalam pasar kompetisi, tidak terkecuali bagi pelaku usaha besar. Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”) adalah untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Terlebih lagi, persaingan usaha berasaskan pada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Isu kepentingan umum dan kepentingan nasional pada dasarnya merupakan semangat nasionalisme dari para pembuat kebijakan. Namun, dalam kaitannya dengan konteks kegiatan usaha dan persaingan usaha, isu ini seharusnya mempertimbangkan perkembangan usaha dan perekonomian secara global. Salah satu tugas pemerintah adalah dengan penguatan perekonomian dari dalam sehingga pelaku usaha domestik mampu bersaing dengan pihak luar. Penguatan perekonomian yaitu dengan melakukan pembinaan terhadap pelaku usaha domestik untuk melakukan inovasi supaya mampu bersaing dengan pelaku usaha asing. Isu persaingan antara si besar dan si kecil bukan merupakan konsen dari hukum persaingan usaha, karena persaingan usaha menghendaki adanya kesempatan yang sama dalam berusaha dan pentingnya berinovasi dalam menghadapi persaingan usaha global. Dalam hukum persaingan usaha berlaku hukum alam: siapa yang kuat, dia yang akan bertahan.
Dalam rangka mengembangkan dan memajukan usaha domestik, pemerintah seharusnya melakukan pembinaan secara berkala dan berkelanjutan. Bukan dengan menerbitkan peraturan yang sifatnya protektif, tetapi justru perlu peraturan yang sifatnya stimulan. Usaha domestik tidak perlu diproteksi secara berlebihan, tetapi justru perlu distimulus supaya mau dan mampu untuk tumbuh dan berkembang dengan cara yang wajar dalam kondisi persaingan global yang semakin kompleks. Pemerintah dalam hal ini bisa bercermin dan banyak belajar pada pemerintah negara maju dalam menumbuhkan perekonomian negaranya.
Nasionalisme penting, namun demokrasi ekonomi lebih penting karena dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, penerapan Perpres 112/2007 seyogyanya sejalan dengan implementasi UU 5/1999. Tidak ada yang salah dengan peraturan yang bersifat teknis seperti Perpres 112/2007, namun pemerintah perlu mempertimbangkan seberapa efektif peraturan tersebut dapat diimplementasikan, siapa pihak yang berwenang melakukan pengawasan, dan seberapa siap pihak tersebut melakukan pengawasan. Karena dalam praktiknya, beberapa Pemerintah Daerah (terutama Pemerintah Kabupaten/Kota) sebagai pihak yang terjun langsung di lapangan belum melakukan tugas dan fungsinya dengan baik sehingga pelaksanaan Perpres 112/2007 menjadi bias.
Sektor industri ritel merupakan sektor industri yang krusial bagi negara, karena perekonomian nasional banyak dipengaruhi oleh keberlangsungan industri ini. Terlebih lagi mengingat pasar Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial dengan jumlah konsumen dan tingkat konsumsi yang sangat tinggi dan terus meningkat. Pertumbuhan konsumen dan persaingan usaha merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga keduanya perlu dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari tujuan dibentuknya UU 5/1999, yaitu untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; serta mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
Novi Nurviani, S.H., M.H.
Investigator Madya
Bagian Pengujian Substansi
Biro Merger – KPPU RI
Perpres Ritel vs Persaingan Usaha
Ritel merupakan sektor industri yang sangat populer dan sudah mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia turun-temurun sejak dahulu kala. Ditandai dengan tersebarnya warung dan toko kelontong di hampir tiap daerah, mulai dari pelosok hingga kota besar. Industri ini tumbuh dan berkembang sedemikian cepat seiring dengan pertambahan laju penduduk. Industri ini juga semakin populer sejak masuknya ritel modern di Indonesia, yakni ketika Indomart marak tumbuh bak jamur di musim hujan, hingga yang paling fenomenal ketika ritel asing asal Perancis, Carrefour, masuk ke Indonesia dengan ekspansi usahanya yang cukup mengundang kontroversi.
Fenomena tersebut rupanya secara perlahan mengakibatkan pelaku usaha domestik satu-persatu kolaps tidak berdaya, terlebih lagi pelaku usaha domestik dengan skala yang kecil. Tidak mengherankan jika industri ini mendapat sorotan yang cukup serius dan banyak diperbincangkan oleh berbagai kalangan, mulai dari instansi pemerintah, pelaku usaha, hingga para akademisi. Banyak kalangan yang menghendaki pemerintah untuk turun tangan mengatasi permasalahan tersebut. Kondisi ini kemudian menggelitik pemerintah untuk mengatur permasalahan ini dalam suatu bentuk ketentuan dengan maksud melindungi kepentingan usaha kecil secara nasional. Namun, ketika pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (“Perpres 112/2007”) pada tanggal 27 Desember 2007, peraturan ini tidak kalah mengundang kontroversi.
Latar belakang dikeluarkannya Perpres 112/2007 oleh pemerintah pada dasarnya ialah dengan semakin berkembangnya usaha perdagangan eceran dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka pasar tradisional perlu diberdayakan agar dapat tumbuh dan berkembang serasi, saling memerlukan, saling memperkuat serta saling menguntungkan. Bahwa untuk membina pengembangan industri dan perdagangan barang dalam negeri serta kelancaran distribusi barang, perlu memberikan pedoman bagi penyelenggaraan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, serta norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern serta pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen. Tujuan peraturan ini pada dasarnya sangat baik, namun dalam implementasinya ketentuan ini sulit terealisasi. Mengapa? Karena sulitnya melakukan pengawasan atas pelaksanaan ketentuan perpres tersebut.
Perpres 112/2007 mengatur secara teknis mengenai pembagian usaha antara pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Pada beberapa ketentuan pasal, Perpres 112/2007 terlalu mengatur dengan sangat rigid. Misalnya, terdapat pengaturan mengenai lokasi dan syarat-syarat pendirian, luas bangunan, jam operasi, ketentuan pemasokan barang, perizinan, serta pembinaan dan pengawasan untuk pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern. Peraturan ini dibuat dengan maksud untuk melindungi dan mengembangkan usaha kecil serta sebagai suatu upaya pembinaan terhadap usaha kecil supaya bisa maju dan berkembang. Namun jika dilihat dari sisi persaingan, pengaturan yang rigid seperti itu justru menghambat pelaku usaha untuk berusaha dan berinovasi, terutama bagi pusat perbelanjaan dan toko modern.
Peraturan yang membatasi operasional pusat perbelanjaan dan toko modern tersebut secara tidak langsung mengakibatkan terhambatnya kegiatan berusaha dan berinovasi. Hal ini kurang sejalan dengan misi KPPU yaitu menegakan hukum persaingan dengan jalan menjamin kebebasan berusaha dan melakukan inovasi guna bertahan dalam pasar kompetisi, tidak terkecuali bagi pelaku usaha besar. Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”) adalah untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Terlebih lagi, persaingan usaha berasaskan pada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Isu kepentingan umum dan kepentingan nasional pada dasarnya merupakan semangat nasionalisme dari para pembuat kebijakan. Namun, dalam kaitannya dengan konteks kegiatan usaha dan persaingan usaha, isu ini seharusnya mempertimbangkan perkembangan usaha dan perekonomian secara global. Salah satu tugas pemerintah adalah dengan penguatan perekonomian dari dalam sehingga pelaku usaha domestik mampu bersaing dengan pihak luar. Penguatan perekonomian yaitu dengan melakukan pembinaan terhadap pelaku usaha domestik untuk melakukan inovasi supaya mampu bersaing dengan pelaku usaha asing. Isu persaingan antara si besar dan si kecil bukan merupakan konsen dari hukum persaingan usaha, karena persaingan usaha menghendaki adanya kesempatan yang sama dalam berusaha dan pentingnya berinovasi dalam menghadapi persaingan usaha global. Dalam hukum persaingan usaha berlaku hukum alam: siapa yang kuat, dia yang akan bertahan.
Dalam rangka mengembangkan dan memajukan usaha domestik, pemerintah seharusnya melakukan pembinaan secara berkala dan berkelanjutan. Bukan dengan menerbitkan peraturan yang sifatnya protektif, tetapi justru perlu peraturan yang sifatnya stimulan. Usaha domestik tidak perlu diproteksi secara berlebihan, tetapi justru perlu distimulus supaya mau dan mampu untuk tumbuh dan berkembang dengan cara yang wajar dalam kondisi persaingan global yang semakin kompleks. Pemerintah dalam hal ini bisa bercermin dan banyak belajar pada pemerintah negara maju dalam menumbuhkan perekonomian negaranya.
Nasionalisme penting, namun demokrasi ekonomi lebih penting karena dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, penerapan Perpres 112/2007 seyogyanya sejalan dengan implementasi UU 5/1999. Tidak ada yang salah dengan peraturan yang bersifat teknis seperti Perpres 112/2007, namun pemerintah perlu mempertimbangkan seberapa efektif peraturan tersebut dapat diimplementasikan, siapa pihak yang berwenang melakukan pengawasan, dan seberapa siap pihak tersebut melakukan pengawasan. Karena dalam praktiknya, beberapa Pemerintah Daerah (terutama Pemerintah Kabupaten/Kota) sebagai pihak yang terjun langsung di lapangan belum melakukan tugas dan fungsinya dengan baik sehingga pelaksanaan Perpres 112/2007 menjadi bias.
Sektor industri ritel merupakan sektor industri yang krusial bagi negara, karena perekonomian nasional banyak dipengaruhi oleh keberlangsungan industri ini. Terlebih lagi mengingat pasar Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial dengan jumlah konsumen dan tingkat konsumsi yang sangat tinggi dan terus meningkat. Pertumbuhan konsumen dan persaingan usaha merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan sehingga keduanya perlu dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari tujuan dibentuknya UU 5/1999, yaitu untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; serta mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
Novi Nurviani, S.H., M.H.
Investigator Madya
Bagian Pengujian Substansi
Biro Merger – KPPU RI
— /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:”Table Normal”; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-parent:””; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:”Times New Roman”,”serif”;} –>