Pendapat KPPU atas Premi Resiko Suku Bunga Kredit UMKM
KPPU menyarankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengatur premi risiko suku bunga kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk menghindari perilaku bank untuk memperoleh keuntungan melalui suku bunga eksesif. Melalui pengaturan ini, diharapkan suku bunga kredit akan bergerak turun dan mendorong UMKM menjadi lebih kompetitif sehingga dapat berkompetisi di pada masa implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN nantinya. Pernyataan Ketua KPPU, Nawir Messi, tersebut tertuang dalam surat saran dan pertimbangan yang disampaikan kepada OJK pada 24 Juni 2014 lalu.
Lebih lanjut, KPPU menyarankan OJK untuk melakukan beberapa tindakan berikut:
- Mengatur proses penetapan premi risiko oleh bank melalui sebuah metode yang terukur dan transparan untuk mencegah perilaku bank mendapatkan keuntungan yang eksesif dalam penetapan suku bunga kredit UMKM ;
- Mendorong hadirnya lembaga independen yang memiliki kewenangan mengeluarkan premi risiko, yang akan menjadi acuan bagi seluruh bank di Indonesia. Melalui cara seperti ini, maka proses penetapan premi risiko akan lebih transparan; dan
- Pengaturan terkait dengan proses transparansi dan perhitungan premi risiko diserahkan kepada OJK selaku otoritas pengawas perbankan Indonesia.
Berbagai saran tersebut disusun berdasarkan kajian intensif yang dilakukan tim di KPPU selama beberapa bulan terakhir. Kajian tersebut menunjukkan bahwa nilai premi risiko yang melebihi nilai suku bunga dasar kredit (SDBK) banyak terjadi pada besaran suku bunga kredit UMKM, dengan alasan tingginya resiko penyaluran kredit ke UMKM. Hal ini diperburuk dengan sulitnya memperoleh informasi oleh debitur terkait penghitungan premi risiko oleh bank. Metode perhitungan risiko sangat subjektif, dan tanpa benchmark perhitungan yang valid. Selain itu, juga muncul kemungkinan duplikasi pengenaan biaya (double charge) untuk margin keuntungan dan margin risiko. Kajian KPPU memperlihatkan bahwa, nilai premi risiko dapat mencapai 20% yang melampaui rata-rata suku bunga dasar kredit UMKM 15% terutama di daerah Indonesia Timur. Dengan kondisi tersebut maka suku bunga dasar kredit, tidak dapat berfungsi untuk menjadi acuan konsumen dalam memilih bank dengan kriteria suku bunga kredit yang rendah.
Saran dan pertimbangan ini merupakan perwujudan salah satu tugas KPPU, yakni memberikan saran pertimbangan kepada regulator, terkait dengan kebijakan yang berpotensi menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, KPPU senantiasa mencermati berbagai kebijakan Pemerintah dan menganalisis dampaknya dalam perspektif persaingan. Industri perbankan merupakan salah satu industri prioritas pengawasan KPPU. Berbagai kegiatan telah difokuskan pada industri tersebut, baik pada sisi kajian, analisa kebijakan, hingga penegakan hukum. Industri ini menjadi fokus, seiring dengan tingginya suku bunga perbankan di Indonesia. Margin industri perbankan Indonesia tergolong tinggi dibandingkan industri perbankan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2012, Net Interest Margin (NIM) bank-bank Indonesia berada di atas 5%, lebih tinggi dari NIM bank-bank negara ASEAN lainnya yang berkisar 3,5% . Hal yang sama juga ditunjukkan oleh nilai Return On Equity (ROE) dan Return On Asset (ROA). Rata-rata nilai ROE bank di Indonesia berada dikisaran 18% dan rata-rata nilai ROAnya sebesar 1,9%, lebih tinggi dibandingkan bank-bank negara ASEAN lainnya yang nilai rata-rata ROEnya berada di kisaran 15% dan ROA sebesar 1,6%. Kondisi ini berdampak terhadap konsumen kredit, khususnya kredit UMKM yang mempunyai nilai suku bunga kredit tertinggi dibandingkan dengan suku bunga kredit lainnya, sehingga mengurangi daya saing Indonesia khususnya saat memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015 mendatang. Berbagai faktor ini menggerakkan inisiatif KPPU untuk mengidentifikasi apakah tingginya suku bunga adalah karena terdistorsinya persaingan usaha yang sehat oleh perilaku pelaku usaha tertentu.
Dugaan KPPU semakin diperkuat dengan temuan bahwa nilai suku bunga yang diperoleh konsumen, setelah ditambah dengan premi risiko melonjak tinggi. Besaran suku bunga akhir di tangan konsumen, bisa mencapai dua kali lipat (bahkan lebih) dari nilai SBDK. Padahal transparansi mengenai SBDK telah diatur dan diumumkan secara berkala sesuai ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013 tentang Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit. Yang notabene dengan memperhatikan SBDK, konsumen dapat menilai manfaat dan biaya atas kredit yang ditawarkan Bank sebelum ditambahkan nilai premi risiko. Hal ini tentu saja memperkuat potensi berlakunya suku bunga kredit yang eksesif dalam industri perbankan Indonesia.
(DWN)