Aspek Keselamatan dan Harga Tiket Pesawat
Jakarta (12/11) – Jika membahas mengenai dunia penerbangan, maka akan kembali mengingatkan romantisme KPPU di masa lalu. Dua belas tahun yang lalu KPPU dengan Menteri Perhubungan melakukan komunikasi yang akrab agar penerbangan lebih dapat diandalkan dan kompetitif. Penataan demi penataan dilakukan di sektor penerbangan, sejak dikembalikannya tarif tiket penerbangan dari asosiasi (INACA) kepada pemerintah (Kementerian Perhubungan). Sekian juta konsumen dulu tidak bisa menikmati indahnya awan di langit. Industri penerbangan dulu belum mencatat laba positif. Cengkareng pun seperti kuburan. Namun, semua berubah ketika kedua lembaga itu menginisiasi reformasi industri ini di awal tahun 2000an tersebut. Dampaknya sangat luar biasa. Cengkareng berhasil menjelma menjadi airport ke-10 tersibuk di dunia, jumlah maskapai dan penumpang melonjak tinggi, dan para maskapai pun mulai menuai keuntungan. Organisasi kerja sama ekonomi dunia, OECD, memuji dan mengakui kesuksesan Indonesia atas dunia penerbangannya ini. Namun, sekarang, muncul wacana kebijakan baru untuk mematok batas bawah.
“Indonesia telah melakukan langkah mundur”, tegas Ketua KPPU, Nawir Messi, dalam membuka dengar pendapat mengenai rencana kebijakan penetapan tarif batas bawah tiket ekonomi penerbangan domestik yang dilaksanakan kemarin, 12 November 2014 di Kantor KPPU.
Nawir menilai, dalam perspektif kebijakan persaingan, penerapan tarif batas bawah akan mengurangi insentif maskapai penerbangan untuk lebih efisien. Konsumen tidak akan bisa memperoleh pilihan jasa layanan penerbangan yang kompetitif dengan harga yang relatif murah, dengan tanpa mengurangi jaminan keamanan dan keselamatan penerbangan, khususnya pada maskapai berbasis Low Cost Service (LCC). Dengar pendapat tersebut, diatur untuk mendengarkan kepentingan stakeholder baik Kementerian Perhubungan, asosiasi penerbangan (INACA), maupun pengamat yang berkecimpung di bidang tersebut atas rencana kebijakan penetapan tarif batas bawah penerbangan.
Joko Muryatmojo, Sekretaris Direktur Jenderal Perhubungan Udara, memaparkan latar belakang dan formulasi perhitungan dan penetapan tarif sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 51 tahun 2014. Dijelaskan, untuk pesawat kargo dan non ekonomi ditentukan oleh mekanisme pasar, sedangkan pesawat ekonomi ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan dengan mempertimbangkan permintaan kenaikan tarif dari maskapai-maskapai penerbangan serta berpedoman pada harga avtur dan kurs dollar US. Hal ini didukung dengan kondisi penerbangan pada tahun 2005-2012 yang mengalami pertumbuhan 18%. Pertumbuhan di tahun 2013 hanya 6%, sehingga dapat dikatakan sektor penerbangan mengalami kondisi paceklik, ujar Joko. Setelah dikaji ternyata penyebab turunnya adalah kenaikan harga BBM, sehingga pertumbuhan 18% tersebut sangat rentan. Dalam Peraturan Menteri tersebut terdapat ketentuan penjualan tiket pesawat melalui besaran tarif referensi dalam bentuk angka per rute. Ketika low session, terjadi keluhan-keluhan dari maskapai yang meminta adanya tarif batas bawah karena terdapat praktek menjual harga rendah di lapangan yang menyedot penumpang maskapai lain.
Dari diskusi yang berkembang, terdapat koridor 3S1C safety, security, services dan comply yang menjadi acuan yang wajib dipenuhi di industri tersebut. Beberapa maskapai yang menganggap perlu adanya tarif batas bawah, dengan alasan untuk menghidupi operasional maskapai termasuk safety dan refund. Tetapi ada juga maskapai (umumnya maskapai besar) yang menganggap tidak perlu pengaturan tarif batas bawah, karena perang harga di tarif penerbangan merupakan salah satu strategi pemasaran untuk menggaet konsumen. Sekalipun terdapat perbedaan pandangan, para maskapai tersebut tetap akan mengikuti aturan main yang ditetapkan pemerintah. Di sisi lain, dari perspektif konsumen tarif batas bawah diatur asal harga terjangkau dan konsumen mempunyai pilihan baik dari aspek safety maupun services.
Komisioner Tresna P. Soemardi menanggapi pada dasarnya, persaingan akan membuat konsumen memilih moda transportasi yang low risk dan high risk. Diperlukan kelembagaan yang kuat dari Kementerian Perhubungan untuk menerapkan tarif batas bawah atas penerbangan, karena airline merupakan sistem besar. Sedangkan menurut Komisioner Syarkawi Rauf, penetapan tarif batas bawah akan selalu mendorong harga menjadi naik. Jika Kementerian Perhubungan menetapkan tarif batas bawah, insentif akan menjadi rendah dan sensitif terhadap demand. Untuk itu, diperlukan adanya indeks kompetisi rute. Ini akan mendefinisikan mana rute yang memiliki tingkat kompetisi yang tinggi, dan mana yang tidak.
Nawir sendiri tidak dapat setuju adanya stigma bahwa, security control yang selalu diidentikkan ke pricing.
“Saya ragukan jika naikkan harga akan menjamin safety dan kita tidak menerima itu. Mekanisme supervisi yang di substitusi ke mekanisme harga, itu naif. Jika ada kompetisi yang optimum maka inovasi akan meningkat juga. Tolong perjuangkan hak-hak konsumen untuk mendapat prioritas dengan adanya price mechanism”, tegasnya.
Menanggapi dalam pemenuhan aspek keselamatan penerbangan, Kementerian Perhubungan menyatakan bahwa mereka mempunyai sistem audit tersendiri. Dan posisi regulator berada di tengah pelaku usaha airline yang dinamis, dan konsumen dari sisi pelayanan.
“Kami memperjuangkan itu!”, tegas Joko. (erm)