KPPU Putuskan Perkara Ban
JAKARTA, KPPU.go.id – KPPU melalui Majelis Komisi yang dipimpin oleh Kamser Lumbanradja memutus bahwa PT Bridgestone Tire Indonesia (Terlapor I), PT Sumi Rubber Indonesia (Terlapor II), PT Gajah Tunggal Tbk (Terlapor III), PT Goodyear Indonesia Tbk (Terlapor IV), PT Elang Perdana Tyre Industry (Terlapor V) dan PT Industri Karet Deli (Terlapor VI) terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pembacaan putusan digelar pada Rabu, (7/1), di Ruang Market, Kantor Pusat KPPU.
Fakta persidangan menemukan bahwa Terlapor I, II, III, IV, V dan VI terbukti melanggar UU No. 5 Tahun 1999, tepatnya pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11. Dalam Pasal 5 (ayat 1), dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Sementara itu pada Pasal 11, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Kedua penerjemahan pelanggaran kedua pasal tersebut diperoleh dari rapat presidium APBI dalam kurun waktu 2009 sampai dengan 2012 yang mengindikasikan adanya kesepakatan untuk menahan produksi dan mengatur pengaturan harga.
Fakta lain, pada rapat Sales Director APBI Desember 2008 yang disampaikan dalam rapat presidium tanggal 21 Januari 2009, diperoleh kesimpulan “Anggota APBI jangan melakukan banting membanting harga.” Kalimat tersebut pernah dinyatakan langsung oleh Ketua APBI yang disetujui secara aklamasi oleh seluruh anggota APBI.
Sementara itu pada rapat presidium 26 Januari 2010 di Hotel Nikko, disampaikan bahwa “kepada seluruh Anggota APBI sekali lagi diminta untuk dapat menahan diri dan terus mengontrol distribusinya masing-masing dan menjaga kondisi pasar tetap kondusif sesuai dengan perkembangan permintaannya”.
Selanjutnya, pada pada rapat presidium 25 Februari 2010 di Hotel Nikko, diumumkan hasil rapat Sales Director’s APBI yang isinya membahas langkah-langkah pengamanan akan segera diambil oleh setiap perusahaan secara bersama-sama agar stabilitas pasar dapat terus terpelihara.
Setelah pertemuan tersebut, diperoleh lagi temuan dalam Laporan Sales Directors Meeting (19 April 2010) yang menyatakan bahwa“monitoring pasar APBI diminta diaktifkan lagi mulai bulan Mei 2010, dan semua anggota diminta untuk mengontrol distribusi ban-nya masing¬-masing agar kondisi seperti ini dapat dipertahankan”.
Dari fakta dan temuan-temuan tersebut, KPPU tidak semata menggunakan UU No. 5 Tahun 1999 sebagai pertimbangan pokok pelanggaran hukumnya, namun KPPU juga menggunakan metode Harrington untuk mengukur terjadinya sebuah kartel.
Metode Harrington sendiri merupakan penggabungan dari berbagai metode yang melihat kartel dari berbagai sisi. Model dari Harrington menggunakan metode analisis hubungan error atau residual regresi antar perusahaan dari hasil estimasi data panel tersebut. Dalam ekonometrika, error atau residual regresi ini selalu dijadikan dasar untuk melihat perilaku dari suatu kartel. Bahwa ahli ekonometrika menggunakan analisis perilaku menggunakan pola residual baik antar waktu maupun antar individu. Metode Harrington sendiri merupakan metode yang valid untuk membuktikan adanya kartel.
Dengan seluruh pertimbangan tersebut, KPPU menghukum Terlapor I, II, III, IV, V dan VI untuk membayar denda sebesar 25 miliar dan harus disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha.
Selain itu, KPPU juga merekomendasikan kepada Kementerian Perindustrian sebagai pembina industri ban di Indonesia untuk melakukan pembinaan kepada APBI agar mematuhi prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1999.