Harga Obat Tinggi, KPPU Investigasi Praktik Dokter

JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Problematika harga obat di Indonesia yang masih mahal disoroti oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Investigasi KPPU mensilanyir ada celah dalam regulasi yang bisa dimainkan oleh tenaga kesehatan dokter dan apoteker untuk ‘memaksa’ pasien memilih obat brand tertentu, termasuk dengan harga yang mahal. Praktik ‘memaksa’ tersebut masif terjadi secara nasional bahkan terjadi juga di Jawa Tengah.
Komisioner KPPU Saidah Sakwan menyatakan, praktek pemberian obat oleh dokter menjadikan pasien hanya menerima tanpa ada alternatif pilihan dengan jenis komposisi obat yang sama dengan brand berbeda. Cara tersebut menimbulkan adanya resiko persaingan usaha tidak sehat, selain merugikan pasien.
“Adanya regulasi Permenkes No.98 tahun 2015 tentang HET, memberikan peluang bahwa apoteker ketika memberi pilihan brand dengan komposisi sama, wajib konsultasi ke dokter artinya pengendalian tetap di dokter. Padahal dokter tak memberi wewenang akan pilihan obat,” katanya dalam Diseminasi Saran dan Pertimbangan KPPU pada Sektor Kesehatan, di hotel Santika Semarang, Kamis (18/8).
Regulasi tersebut meggiring pada praktek penguasaan salah satu brand oleh monopoly by agen yakni dokter. Alasan tersebut juga diperkuat oleh informasi, sebagai motivasi, dari produsen obat dimana ada besaran biaya 30 persen dari harga produksi obat sebagai fee (hadiah) bagi dokter yang mampu turut menjual brand obat tertentu pada pasien.
“Posisi dokter mem-barrier (membatasi) produsen untuk berkompetisi sehat dalam distribusi obat. Banyak terjadi pada praktek dokter rumah sakit swasta, praktek mandiri dan dokter klinik. Kalau rumah sakit negeri sudah ada aturan dalam INA CBG’s dalam hal pemberian obat, jadi terhindar praktik monopoli,” tandasnya.
Dalam amandemen regulasi tersebut, KPPU lebih menegaskan bahwa apoteker wajib memberikan pilihan kepada pasien dari mulai obat paten maupun original atau generik. Dokter hanya sebagai pihak memberikan alternatif komposisi obat yang sama, bukan menunjuk brand tertentu.
“Jadi pasien meminta sendiri sesuai kemampuan finansial dan kecocokan obat. Peta industri obat pun akan berubah, perusahaan obat akan berusaha memangkas ongkos produksi sehingga akan ada kompetisi di brand. Pasien pun jadi cerdas memilih,” katanya.
Perubahan Permenkes tersebut, katanya, bisa menjadi salah satu upaya guna menekan harga obat secara nasional. Dikatakannya, secara nasional industri kesehatan di Indonesia ada perputaran Rp.248 triliun dana kesehatan di 2014untuk APBN, Rp.57 triliun diantaranya alokasi untuk obat. Prediksi KPPU ada 65 triliun di 2016 untuk kebutuhan belanja obat.
“56 persen dari belanja obat dialokasikan pengadaan obat bagi JKN yang mengakomodir 160 juta pasien di Indonesia,” katanya.
Pihaknya meyakini, dengan regulasi direvisi tak hanya adanya persaingan industri obat saja yang lebh kompetitif. Tapi juga bisa menekan anggaran besar pengadaan obat bagi JKN.
“Jadi ada sekitar 40 triliun dana untuk JKN, andai regulasi bisa dirubah maka bisa memangkas biaya obat tersebut dan tak memberati JKN atau BPJS,” ujarnya. (aam/ebe)