Keseimbangan Pasokan Unggas Dijaga
JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menggulirkan sejumlah instrumen guna memonitor keseimbangan pasokan unggas nasional. Di antaranya, mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26/Permentan/PK.230/5/2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras.
“Regulasi ini mengatur keseimbangan supply demand daging ayam dan pengontrolan ketat impor GGPS dan GPS,” kata Direktur Budi Daya dan Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Surahman dalam siaran pers pekan ini. Peraturan juga akan memberikan kepastian peternak mendapatkan suplai DOC dari breeder.
Di sisi lain, pemerintah terus melakukan pengawasan peredaran DOC sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Langkah tersebut dibarengi dengan pengurangan impor bahan baku pakan secara bertahap untuk disubstitusi dari dalam negeri serta mendukung promosi mengonsumsi ayam dan telur dengan mengubah persepsi masyarakat tentang sehatnya mengonsumsi ayam.
“Program afkir dini induk untuk sementara dihentikan, sampai adanya keputusan akhir dari KPPU, kecuali afkir dini inisiatif masing-masing apabila dianggap perlu,” kata Surahman menegaskan.
Sekadar catatan, saat ini terjadi over supply produksi daging ayam nasional. Di mana ayam ras potong 80 persen dikuasai perusahaan integrasi dan hanya 20 persen peternak mandiri.
“Hasil produksi ayam ras 20 persen untuk pengolahan dan 80 persen dijual ke pasar tradisional sehingga mengurangi market share peternak ayam mandiri,” jelasnya.
Saat ini populasi ayam ras daging mencapai 3,3 miliar ekor dan ayam ras petelur 210,3 juta ekor. Sementara, populasi ayam buras saat ini berjumlah 286,5 juta ekor. Ketersediaan daging ayam dan telur sudah surplus melebihi kebutuhan konsumsi.
Surahman mengatakan, hingga kini ayam ras menyumbang 55 persen produksi pangan asal hewan ternak dalam bentuk daging. Sementara, porsi produksi dalam bentuk telur sebanyak 71 persen. Sedangkan, ayam buras hanya menyumbang 11 persen dalam bentuk daging dan 11 persen telur.
Ayam ras juga telah menimbulkan revolusi menu orang Indonesia dari red meat ke white meat, yaitu dari 55 persen konsumsi daging sapi atau kerbau turun menjadi 17 persen. Pola konsumsi juga berubah dari mengonsumsi daging unggas baik ayam ras maupun buras menjadi 67 persen selama kurun waktu 50 tahun terakhir yang sebelumnya 15 persen.
Sekretaris Jenderal Kementan Hari Priyono menyampaikan, permasalahan pangan dihadapkan pada kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan sehingga mengalami kendala dalam hal konektivitas atau distribusi. Akibatnya produk dari daerah sentra pertanian tidak bisa mengalir secara cepat ke pasar ataupun sentra konsumen.
“Oleh karena itu, solusi yang yang telah dilakukan pemerintah di antaranya tol laut kapal ternak,” ujarnya. Kapal bekerja mengangkut sapi langsung dari peternak NTT ke Pulau Jawa dan membangun Toko Tani Indonesia untuk memotong rantai pasok.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia Anton Supit menyebut, keseimbangan permintaan dan suplai perlu diatur pemerintah. Jangan sampai diserahkan ke mekanisme pasar dan terjadi perang harga.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Desianto Budi Utomo. Ia lantas mengusulkan pengembangan pola kemitraan budi daya jagung sebagai bahan baku industri pakan ternak. Pemerintah diharapkan memberikan dukungan regulasi, pinjaman lunak, garansi harga, dan pembelian jagung petani oleh pabrik pakan.
Hal tersebut didukung oleh Ketua Umum Kontak Tani Andalan Nelayan (KTNA) Nasional Winarno Tohir. KTNA meminta komitmen GPMT agar industri pakan ternak meningkatkan kerja sama untuk menyerap jagung petani secara besar-besaran. “Ini penting dilakukan sehingga industri pakan memprioritaskan jagung lokal daripada mengandalkan impor,” ujarnya. rep: Sonia Fitri, ed: EH Ismail
Sumber: Republika