KPPU Tak Bisa Perkarakan Kebijakan Pemerintah

Jakarta, (Analisa) (04/08) – Pakar ekonomi Faisal Basri menyatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KP­PU) tidak bisa memperkarakan kebijakan pe­merintah dalam hal ini Kementerian Perta­nian yang menginstruksikan 12 perusahaan pembibitan unggas melakukan apkir dini indukan ayam (parent stock).
Saat menjadi saksi pada sidang lanjutan perkara dugaan kartel  ayam di KPPU, Ja­karta, Rabu, Faisal Bsri menyatakan, jika ada kebijakan pemerintah yang dinilai membuka ruang bagi persaingan usaha ti­dak sehat, ma­ka yang dapat dilakukan KPPU adalah mem­berikan saran dan ma­sukan kepada peme­rin­tah, bukan dengan menghukum pelaku usaha yang men­jalankan instruksi pemerintah.
“Dalam UU No 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sudah diatur terkait kebijakan yang diambil pemerintah, tugas KPPU ada­lah memberi saran atau masukan bukan dengan menjatuhkan hukuman. Sedangkan pelaku usaha dalam perkara apkir dini hanya sebatas patuh dan menjalankan aturan peme­rintah,” katanya.
Menurut Faisal Basri, apkir dini paret stock bukan merupakan sebuah kesepakatan kartel, karena perusahaan pembibitan ayam merugi lantaran harus memotong ayam yang masih produktif.
Pasokan berlebih
Kebijakan apkir dini yang diterapkan Ke­menterian Pertanian, lanjutnya, merupakan upaya untuk mengoreksi kebijakan sebe­lumnya yang ternyata merugikan industri ayam terutama peternak kecil.
Faisal menjelaskan kebijakan yang di­maksudkan adalah saat membuka kran impor GGPS (great grand parent stock) yang pada akhirnya membuat pasokan anak ayam (DOC) berlebih sehingga berimbas pada harga ayam hidup di tingkat peternak jatuh di bawah harga pokok produksi.
Oversupplay DOC  tersebut, tambahnya dipicu oleh kebijakan pemerintah yang mem­bolehkan perusahaan mengimpor GGPS pada 2013 untuk mengantisipasi mening­katnya kebutuhan daging ayam, bahkan im­por GGPS pada 2013 mencapai tiga kali lipat dari tahun sebelumnya.
Dikatakannya, kebijakan apkir dini dila­kukan sebagai upaya melindungi peternak kecil dan industri yang sehat, sebab jika tidak ada tindakan segera maka mereka akan ber­guguran karena harus menanggung rugi aki­bat harga jual ayam yang lebih rendah dari harga pokok produksi.
“Kalau tidak ada tindakan segera dan kondisi oversupplay berlanjut maka peternak kecil akan bangkrut atau dicaplok oleh se­gelintir perusahaan besar yang punya modal kuat dan daya tahan menghadapi jatuhnya harga. Hal ini jsutru membuat pasar tidak sehat,” ujar mantan komisioner KPPU itu.
Pada akhir 2015 Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan membuat kebi­jakan berupa instruksi pengapkiran enam juta ekor indukan ayam kepada 12 perusahaan, guna memperbaiki harga ayam hidup di ting­kat peternak yang saat itu jatuh dibawah har­ga pokok produksi akibat kelebihan pasokan DOC.
Harga anjlog
Ketua Dewan Pembina Perhimpunan In­san Unggas Rakyat (Pinsar) Indonesia, Harto­no menyatakan, di tahun 2014 kele­bihan pasokan DOC sebesar 17 juta/minggu atau 6,8 juta PS, yang mana hal ini ber­dam­pak pada harga ayam hidup di tingkat pe­ternak anjok dari Rp23.000 menyentuh hingga Rp12.000/kg.
Bahkan di beberapa kota mencapai Rp8.000/kg, sementara biaya pokok pro­duksi sekitar Rp15.000-Rp16.000/kg, belum termasuk biaya operasional Rp1.500 – Rp2.000/kg.
Dengan kondisi tersebut maka setiap pe­ternak harus menanggung kerugian lebih dari Rp4000/kg atau 20 persen dari modal usaha, akibatnya banyak peternak rakyat yang bangkrut.
Oleh karena itu, tambahnya, pemerintah kemudian membuat kebijakan ‘win-win solusi” yang mana industri peternakan yang besar maupun kecil sama-sama bisa bertahan hidup, dengan apkir dini.
“Kalau kemudian KPPU menghentikan kebijakan apkir dini hanya untuk membela konsumen dan tanpa memberikan jalan keluar maka berarti lembaga ini ingin mematikan UMKM perunggasan,” katanya. (Ant)
Sumber: Harian Analisa Daily