Nasib Petani Tembakau di Pamekasan
Jadi Korban Permainan Harga, Produk Unggulan Itu Tak Lagi Menguntungkan
Kabupaten Pamekasan, Bhirawa – Tanaman tembakau dulu dikenal daun ’emas hijau’. Sayangnya pengaruh cuaca, kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi membuat tanaman itu tidak memiliki nilai tawar. Produk unggulan ini kini dipandang sebelah mata karena tidak mampu memberi keuntungan kepada petani.
Luas tanaman tembakau di Kabupaten Pamekasan sejak 1990 berada di kisaran di antara 20.000 hingga 30.000 hektare lebih. Tanaman ini tersebar di 13 kecamatan dengan dibagi tiga kategori, tembakau gunung, tembakau tegal dan tembakau sawah (lahan irigasi).
Sebaran tanaman tembakau setiap kecamatan bersifat fluktuatif tergantung pada musim. Kondisi cuaca cerah dan curah hujan rendah, petani berlomba-lomba menggarap lahannya. Bila cuaca mendung dan curah hujan normal, petani pun kebingungan.
Petani di lahan tegal dan sawah, bila menggarap untuk tembakau maka berisiko tanaman tersebut mati dan rusak karena tergenang air hujan. Untuk menanam ulang petani harus menunggu cuaca cerah, bahkan harus mencari utangan untuk biaya pembelian bibit dan penanaman. Kondisi cuaca semacam ini, jelas acap kali merugikan petani. Padahal untuk memproduksi tanaman tembakau juga ditentukan kualitas bibit, pupuk dan pengobatan.
“Yang terjadi kalau cuaca tidak mendukung, tembakau kami dihargai murah, dan dinilai tidak layak beli. Itu hal biasa bagi kami, ” kata Amrin, petani asal Proppo. Pernyataan Amrin ini dipertegas Achmad Mukram, petani asal Pademawu.
Dijelaskan Achmad Mukram, pabrikan melalui kuasa pembelian di wilayah Pamekasan selalu bersilat lidah mengenai kualitas tembakau milik petani yang berujung pada jatuhnya nilai beli tembakau rajang.
Tamim, petani asal Galis menyebutkan kondisi permainan harga tembakau dan berujung merugikan petani acap terjadi di Pamekasan. Dia menjelaskan permainan harga seperti ini telah terjadi sejak 2000, dan terus berulang hingga kini. Imbasnya petani berangsur mengalami penurunan nilai pendapatan. Padahal biaya pengelolaan, pembelian pupuk dan obat terus membengkak. “Kami terus merugi karena ulah permainan harga beli di tingkat pengepul maupun pengusaha,” kata Tamim.
Dijelaskan Tamim harga kerap berubah-ubah, bukan saja dialami petani di wilayah Pamekasan, melainkan petani di wilayah tetangga, Kabupaten Sumenep. Kondisi ini menurutnya sudah berangsur hampir sepuluh tahun terakhir. “Terparah permainan harga terjadi pada 2013 hingga 2015 kemarin,” kata Tamim lagi.
Daryo, (58) petani setempat mengatakan harga tembakau cenderung berubah-ubah dalam waktu yang tak diduga. Kadang pabrikan mendongkrak nilai beli supaya petani berbondong-bondong menjual tembakaunya. Begitu sampai di gudang, harga menjadi tidak pasti padahal tembakau sudah dibuka (diacak-acak, red).
“Harganya kadang tidak tetap. Kadang naik, kadang turun. Kami dibuat bingung. Katanya kualitas tembakau dalam dua tahun ini didukung cuaca cerah dan kondisi sangat bagus, dan hasil tembakau kami dinilai tidak sesuai standar mereka. Kami minta pemerintah memperjuangkan nasib petani agar tak selalu menjadi korban pengusaha,” tandas warga Kecamatan Galis Pamekasan yang mengaku merugi pada 2015.
Menurut Daryo, kualitas tembakau pada 2015 dihargai dengan harga Rp 30 ribu per kg, berbanding terbalik dengan harga tembakau di era 90-an. “Waktu itu, petani menjual 1 kg tembakau dan mereka bisa membeli emas satu gram. Sekarang membeli debunya emas pun tidak mampu karena harga emas sudah berkisar Rp 500 ribuan per gram,” ujarnya.
Sutikyo, petani asal Pademawu menyatakan kondisi harga tembakau lima tahun belakangan ini sangat tragis bagi petani. Karena ulah permainan harga itu, hampir separo petani yang lahannya tidak bisa ditanami tembakau atau terlambat ditanami tanaman lain (padi, jagung dan palawija), terpaksa harus menelantarkan lahannya.
Pantauan di lapangan, kondisi pengolahan lahan pertanian di Pamekasan ini tidak terpola (sistematis), pemetaan garapan lahan semua terserah kehendak petani. Satu misal, lahan sawah irigasi dalam kondisi curah hujan tinggi, petani memaksakan diri menanam tembakau. Padahal di lahan itu cocok untuk tanaman padi.
Sebaliknya di lahan tegal, pada curah hujan tinggi petani enggan menanam padi karena khawatir di tengah masa tanam kekurangan air. Karena cuaca cerah, petani pun tidak menanam tembakau karena sudah terlewat musim dan khawatir harga jatuh, atau tidak ada nilai belinya.
Pemkab Pamekasan melalui dinas terkait selalu mengimbau petani meningkatkan kualitas tanam dan produksi pertanian. DPRD sempat juga ikut nimbrung seakan peduli akan kepentingan petani. Kenyataan di lapangan, petani dengan PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) dari Dinas Pertanian dan Perkebunan justru berjalan sendiri-sendiri. [Syamsuddin]
Sumber: Harian Birawa