Krisis Keuangan Global dalam Perspektif Persaingan

Krisis Keuangan Global dalam Perspektif Persaingan

Oleh : Taufik Ariyanto *)

Pemberitaan mengenai krisis sektor keuangan global masih hangat belakangan ini. Bahkan dampaknya makin menular ke kawasan ekonomi lain terutama Eropa dan Asia.

Setiap pemerintahan kini tengah berupaya keras untuk mengantisipasi efek negatif dari krisis keuangan di Amerika yang oleh banyak pihak sudah diklaim sebagai awal resesi ekonomi global. Dalam perspektif persaingan, krisis keuangan tentu juga akan membawa beberapa konsekuensi, terutama yang terkait dengan mekanisme pasar. Sejauh mana ada kaitan antara krisis keuangan tersebut dengan sistem ekonomi pasar yang dianut oleh kebanyakan negara saat ini?

Intervensi negara perlu

Krisis keuangan diawali dari kredit macet sektor properti yang menghantam lembaga keuangan termasuk perusahaan pembiayaan, asuransi, bank konvensional dan juga bank investasi. Hal tersebut telah membuat beberapa lembaga keuangan terkemuka kolaps. Dalam mengatasi hal tersebut, kita dapat menyaksikan bahwa pemerintah Amerika melakukan beberapa langkah ”penyelamatan” dengan penyuntikan modal seperti dilakukan pada perusahaan Freddie Mac dan Fannie Mae dan juga AIG. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Inggris dengan menasionalisasi Northern Rock Bank. Langkah penyuntikan modal dan nasionalisasi badan usaha swasta merupakan intervensi langsung dari pemerintah dengan tujuan untuk menstabilkan goncangan yang terjadi di pasar. Langkah ini merupakan pengejewantahan dari aliran ekonomi mainstream terutama neo klasik yang memang menganjurkan perlunya intervensi di saat terjadi kegagalan mekanisme pasar.

Mengenai kegagalan mekanisme pasar, ada dua kubu yang kerapkali mengajukan argumen. Argumen kubu pertama adalah bahwa kapitalisme dan mekanisme pasar bebas adalah akar dari permasalahan krisis yang terjadi sekarang. Kubu ini berpendapat bahwa sistem ekonomi pasar bebas telah memberikan andil bagi penciptaan berbagai produk derivatif keuangan termasuk penyebarannya melalui lalu lintas investasi dan portfolio global yang nyaris bebas hambatan. Dengan demikian, mereka mengajukan bahwa perlu adanya pembatasan lalu lintas permodalan serta revisi terhadap struktur perekonomian internasional, dengan lebih mengedepankan peranan negara selaku stabilisator dan regulator.

Kubu yang lain berpendapat bahwa ekonomi pasar tidak harus disalahkan dalam krisis keuangan global yang terjadi. Krisis ekonomi sekarang ini merupakan akibat dari berbagai faktor penyebab, diantaranya adalah kebijakan defisit dalam neraca pembayaran, overconsumption dalam perilaku konsumen perumahan di Amerika, overvaluation untuk aset properti serta penerapan risk management yang sangat tidak proper untuk berbagai produk derivatif sektor keuangan. Hal tersebut diperparah dengan kebijakan pemerintahan Bush yang mempropagandakan perang, terutama terhadap Irak dan Afganistan yang konon telah menghabiskan dana 3 trilliun dollar (Stiglitz, 2007). Dengan demikian, krisis keuangan menjadi bom waktu yang kekuatannya makin terakumulasi setiap saat. Ketika krisis meledak, yang terjadi bukan kegagalan pasar, tapi adalah kondisi transisi dimana pasar melakukan koreksi terhadap berbagai kelemahan fundamental yang telah disebutkan tadi. Dalam hal ini, tidak perlu ada intervensi yang signifikan dari pemerintah, karena setiap intervensi justru akan memperlambat proses transisi menuju kondisi ekuilibrium yang baru.

Pelajaran yang dapat dipetik di Indonesia adalah, negara maju sekalipun tidak sungkan untuk melakukan penyuntikan modal dan nasionalisasi terhadap badan usaha yang dianggap strategis untuk menstabilkan pasar. Apakah dengan demikian, pendapat kubu anti ekonomi pasar dapat dianggap sebagai pihak yang benar? Terlepas dari apakah hal ini disebabkan oleh kegagalan ekonomi pasar atau sebagai akibat dari mekanisme koreksi terhadap pasar, pemerintah tidak bisa berdiam diri terhadap dampak dari krisis. Dalam doktrin ekonomi pasar, realokasi sumber daya adalah hal yang lumrah, namun dalam prakteknya, 11 Edisi 13 n 2008

 

hal tersebut terdiri dari rangkaian peristiwa, mulai penutupan pabrik, pembekuan bank atau lembaga keuangan, PHK massal sampai pada capital outflow yang kesemuanya sangat mempengaruhi perekonomian dari sisi mikro sampai makro bahkan juga faktor sosial politik suatu negara. Lebih jauh lagi, sektor keuangan mengandung resiko sistemik, dimana peristiwa default satu perusahaan akan mengakibatkan perusahaan lain yang terkait juga akan mengalami problem yang sama. Cotohnya, satu bank ditutup/likuidasi akan mengakibatkan sejumlah bank yang menempatkan dana di bank tersebut juga akan mengalami resiko likuiditas yang sama. Pendek kata, economic dan social costnya terlalu besar apabila pemerintah hanya berdiam diri dan tidak melakukan intervensi atau bailout.

Regulatory Framework dan Methodology yang Jelas untuk Program Bailout

Butuh dua kali sesi pengambilan suara di parlemen dan satu kali revisi RUU pemulihan ekonomi bagi pemerintahan Bush untuk menggolkan program bailout dengan yang membutuhkan dukungan dana sebesar 700 milyar dollar. Parlemen Amerika Serikat menolak draft usulan pertama karena dinilai kurang komprehensif terutama mekanisme program serta efektifitasnya dalam mengatasi kredit macet (toxic debt) sektor properti. Hal tersebut dirasakan akan mengurangi akuntabilitas dari program bailout itu sendiri. Hanya dalam selang satu minggu, terjadi negosiasi intensif lintas partai antar eksekutif dan legislatif, bahkan juga melibatkan kedua capres yang saat itu sedang aktif berkampanye. Hasilnya adalah parlemen akhirnya menyetujui UU stabilisasi ekonomi Amerika yang merupakan versi revisi dari draft usulan RUU yang awalnya ditolak. Dengan UU ini, pemerintahan Bush memiliki otorisasi dan landasan hukum yang kuat untuk membeli kredit macet dari sektor perbankan, sehingga neraca keuangan bank bisa kembali pulih.

Pelajaran buat Indonesia adalah apapun nama program stabilisasi ekonomi, harus dilandaskan pada regulatory framework dan methodology yang jelas. Dengan tatanan serta methodology yang jelas, dukungan politik dari lembaga legislatif sebagai counterpart pemerintah tidak akan sulit diperoleh. Hal ini perlu untuk memberikan landasan hukum bagi pemerintah untuk menstabilkan perekonomian nasional. Program blanket guarantee dan kucuran BLBI yang dilaksanakan pemerintah ketika terjadi krisis moneter tempo hari tidak dilandasi oleh dasar hukum serta metodologi pelaksanaan yang kuat. Dalam kondisi tersebut, implementasi program menjadi tidak terarah dan rentan untuk dimanipulasi. Hasilnya dapat kita saksikan sendiri dimana skandal BLBI telah dan masih akan terus menjadi beban sejarah yang akan menghantui pemerintahan di Indonesia.

Runtuhnya Asumsi Too Big to Fail

Tidak akan ada yang menyangka bahwa bank sekelas Citigroup pada akhirnya membutuhkan suntikan dana ketika krisis keuangan mulai melanda Amerika. Tidak akan ada yang berpikir bahwa perusahaan sekelas Lehman Brothers akan kolaps. Menurunnya nilai aset sektor properti yang telah dikonversi menjadi surat utang, membuat neraca keuangan lembaga keuangan di Amerika timpang. Tiba-tiba, modal (equity) menyusut seiring dengan kerugian akibat toxic debt serta menurunnya nilai pasar surat utang sehingga tidak dapat menutupi kewajiban dari lembaga yang bersangkutan. Ketika rasio debt to equity sesudah semakin besar, maka potensi terjadinya financial distress makin meningkat. Dalam kondisi tersebut, hanya tersisa tiga opsi yaitu akuisisi/merjer, suntikan modal atau bangkrut, dan itulah yang terjadi baik di Amerika maupun di industri keuangan eropa secara umumnya.

Pelajaran buat kita adalah, bahwa memang lembaga keuangan baik bank dan non bank membutuhkan modal yang besar. Namun, modal besar tidak menjamin stabilitas tanpa adanya manajemen yang prudent serta manajemen resiko yang memadai. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan oleh BI yang dalam skenario API-nya nampaknya masih didasarkan pada asumsi too big to fail. Intinya adalah BI akan mendorong konsolidasi sektor perbankan untuk menciptakan bank kelas internasional yang terlalu kuat dari sisi aset maupun modal untuk kolaps. Dengan demikian, modal dan aset besar akan menjamin stabilitas industri perbankan dan keuangan di Indonesia. Fakta dari krisis di Amerika menunjukkan hal yang sebaliknya. Kalau bank sekelas Citigroup dan Lehman Brothers saja sampai membutuhkan suntikan modal, apakah asumsi too big to fail masih dapat dipertahankan? Yang terjadi di lapangan menunjukkan fakta bahwa the bigger they get, the harder they fall atau makin besar banknya, makin besar dampaknya kalau mereka kolaps.

Kalau perusahaan sekelas Northern Rock dan Lehman Brother mengalokasikan dananya untuk securities beresiko tinggi yang dibangun dari portfolio subprime mortgage, apakah BI bisa menjamin perilaku yang sama tidak akan terjadi di Indonesia? Saat ini, jauh lebih penting untuk melakukan regulasi terhadap perilaku para pelaku sektor keuangan seperti yang sekarang sedang diwacanakan mengenai pembatasan aksi short selling dan spekulasi di pasar uang dan pasar modal. Yang juga penting adalah penguatan institusi pengawasan lembaga keuangan yang independen dan terpisah dari otoritas moneter sehingga dapat memantau berbagai perilaku dan kegiatan lembaga keuangan, baik bank dan non bank di Indonesia.

Dalam carut marut krisis serta ketakutan terhadap resesi global, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak negara akan memberlakukan pengetatan regulasi dalam lingkup tatanan ekonomi internasional. Apa dampaknya terhadap iklim persaingan? Ada beberapa, pertama, kita harus terbiasa dengan intervensi dan atau distorsi terhadap sistem perekonomian pasar. Dalam kasus kebijakan bailout, jelas bahwa intervensi pemerintah lebih mencerminkan prinsip protecting competitor bukan competition. Selain itu, akan muncul banyak program tata niaga yang mendistorsi pasar untuk komoditi tertentu serta badan penyangga yang berfungsi sebagai standby buyer dengan kekuatan monopsoni. Kedua, kita juga harus terbiasa dengan kebijakan yang mendorong merger/akuisisi. Sementara, banyak perusahaan yang akan memanfaatkan argumentasi failing firm defense untuk menjustifikasi strategi merger/akuisisi mereka. Dengan demikian, kemungkinan peningkatan konsentrasi pasar sangat mungkin terjadi di tahun-tahun yang akan datang. Ketiga adalah pengetatan regulasi, dimana fokus akan diletakkan pada pembatasan perilaku dan inovasi. Regulasi tersebut patut diwaspadai untuk tidak mengarah kepada fasilitas tacit collusion bagi pelaku usaha. Lebih jauh lagi, regulasi tersebut seyogyanya tidak menghambat inovasi yang merupakan salah satu parameter dari persaingan usaha. Dalam hal ini, inovasi tetap diperlukan sepanjang tidak merugikan kesejahtraan konsumen atau masyarakat, tidak seperti inovasi produk derivatif sejenis subrime mortgage dkk.

kolom

Taufik Ariyanto, SE, ME

Kasubdit Industri

Direktorat Kebijakan Persaingan KPPU