Mengawal Kredibilitas KPPU

Oleh: A. Junaidi *)

Tulisan Gerry Gemilang Sobar (Gerry), Direktur Eksekutif Monopoly Watch, tentang: “Ujian Kredibilitas KPPU” (KONTAN. 21/1) menarik untuk ditanggapi.

Sebagai Direktur LSM khusus persaingan usaha. Gerry tentu menaruh perhatian besar atas kredibilitas komisi ini. Hal ini wajar mengingat KPPI yang berdiri sejak tahun 2000 ini diharapkan menjadi pengawas persaingan usaha yang efektif sebagaimana diharapkan Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Tampaknya hal ini terbukti dari semakin banyaknya Putusan Komisi yang dikuatkan Mahkamah Agung (MA). Lalu, jika kemudian muncul perkara dugaan suap Billy Sindoro-Mohammnad Iqbal (BS-MI) di Pengadilan Tipikor yang berkaitan dengan Putusan KPPI No. 3/KPPU-L/2008 (Putusan Astro). Hal ini tentu saja tidak seketika dapat menghilangkan kredibilitas komisi yang telah terbangun selama delapan tahun.

Kredibilitas institusi

Menjadi institusi yang kredibel merupakan karakter yang hendak dibangun KPPU. Untuk itu, lembaga ini terus mengupayakan capacity building dan kemampuan argumentasi para stafnya. Hasilnya, kualitas putusan KPPU kian baik. Buktinya, dari 15 putusan yang dikasasi, 11 di antaranya dikuatkan MA.

Berkaitan dengan integritas, komisi telah memperbaiki kode etiknya. Semangat ini didukung oleh hukum acara yang lebih memberikan transparansi dan hak membela diri pelaku usaha melalui Peraturan Komisi No. 1/2006 sebagai perubahan atas SK Komisi 05/KPPU/2001 tentang Tata Cara Penanganan Perkara.

Lebih dari itu, potensi eksploitasi oleh komisi pada dasarnya amat sulit terjadi. Pasalnya, putusan komisi masih bisa dibatalkan oleh pengadilan negeri (PN) atau bahkan oleh MA melalui kasasi (vide pasal 44 jo 45 UU Antimonopoli). Jadi, jika secara internal kode etik komisi/pegawai dan hukum acara telah terkawal, secara eksternal KPPI1 pun diikat dengan pengawasan putusan oleh pengadilan, dan kini oleh UU No. 31/ 1999 jo UU No. 20/ 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi), khususnya bila terjadi dugaan gratifikasi dan suap.

Lengkapnya instrumen penjaga kredibilitas ini sayangnya dipersempit Gerry dengan munculnya kasus dugaan pelanggaran UU Antikorupsi oleh BS-MI. Seolah-olah karena kasus dugaan suap ini, putusan KPPU telah kehilangan kredibilitasnya, sehingga MA layak mempertimbangkan untuk membatalkan Putusan Astro. Padahal, putusan ini telah dikuatkan PN Jakarta Pusat tanggal 2 Desember 2008. Anehnya, konstelasi ini dinegasi Gerry dan malah menyarankan KPPU mengakui kesalahan putusannya.

Dilihat dari substansi, usulan ini tentu tidak berdasar karena kasus suap dan putusan Astro adalah dua perkara yang berbeda. Kasus suap adalah perkara dugaan pelanggaran UD Antikorupsi yang bersifat pertanggungjawaban personal. Sementara Putusan Astro adalah putusan dan produk hukum komisi mengenai pelanggaran IT Antimonopoli.

Sebagai produk hukum komisi, Putusan Astro (yang telah dikuatkan PN) hanya dapat diuji oleh MA dalam isu apakah putusan itu sesuai dengan UU Anti Monopoli (vide pasal 45 (3) IT Antimonopoli). Di sisi lain, putusan Tipikor dapat dibanding di Pengadilan Tinggi dan kasasi di MA untuk dilihat apakah dugaan suap terbukti berdasarkan UU Anti Korupsi. Jadi, jauh panggang dari api jika Gerry justru mendorong MA mencampuradukkan dua hal yang terpisah ini.

Perlindungan konsumen

Isu integritas ini pula yang menjadi alasan Genry untuk menyimpulkan KPPU telah melampaui kewenangannya dengan masuk ke sengketa perdata melalui diktum 5 Putusan yang menetapkan kewajiban suplai content siaran teve untuk melindungi konsumen sampai selesainya sengketa PT. Direct Vision-Astro. Untuk dimaklumi, concern KPPU adalah berakhirnya sengketa PT. Direct Vision-Astro menjadi batas waktu penentuan nasib konsumen yang sudah terlanjur berlangganan Astro.

Putusan Astro khususnya diktum 5 menjadi instrumen untuk menyadarkan pelaku usaha bahwa monopolis (dalam hal ini penyediaan content Liga Inggris) dalam suatu hubungan kerjasama dengan pelaku usaha lain akan menjadi isu persaingan di KPPI. Itu bila terdapat perilaku penyalahgunaan kekuatan pasarnya dengan bentuk sekenanya memutus dan menyambung perjanjian dengan rekanannya tanpa melihat fakta bahwa content yang dimilikinya bernilai strategis dan mengabaikan konsumen yang telah membayar langganannya Argumentasi ini yang terbukti diterima PN.

Selain itu sebagaimana sikap peradilan pada umumnya, Pengadilan Tipikor, PN dan (diharapkan) MA tidak akan pernah mempermasalahkan alasan KPPU mengambil putusan diktum 5 itu. Mengapa? Karena pilihan dan isi putusan adalah diskresi komisi yang dijamin pasal 43 jo 47 UU Antimonopoli. Secara mutatis mutandis, kita pun tidak akan mempertanyakan mengapa hakim pengadilan pidana, sebagai contoh, menghukum seseorang 5 tahun dan bukannya 6 tahun penjara.

Jadi, tidak relevan kiranya bila isu suap yang menyangkut masalah personal ini dikaitkan dengan kredibilitas dan produk hukum komisi yang bersifat lembaga. Apalagi sebagaimana PN, Putusan Astro ini mengandung aspek perlindungan konsumen yang notabene merupakan kewenangan komisi. Saya yakin MA akan mendukungnya dan tidak akan mencampuradukkan dua masalah yang jelas berbeda dan terpisah ini. Karenanya, mari kita percayakan MA menyelesaikan tugasnya.

* Direktur Komunikasi KPPU-RI

Sumber : Harian Kontan, 31 Januari 2009 dan kppu.goid
DIPOSTING OLEH INTELEKTUAL HUKUM DI 13.01
LABEL: HUKUM PERSAINGAN USAHA