Semakin Kehilangan Indonesia

Seorang bocah menulis sajak pendek: Indonesia, di mana alamatmu?

Bagi bocah itu, Indonesia ibarat rumah yang memiliki alamat administratif jelas: Senayan atau Istana Merdeka. Namun, sangat mungkin sajak itu justru menggoda kita, benarkah negara ini punya alamat?

Jika kita ditanya soal ”alamat” negara, yang terbayang adalah posisi eksistensi dan orientasi nilai suatu bangsa. Dalam konteks ini, frase ”alamat negara” bisa dipahami secara ideologis dan konstitusional. Jadi, ”alamat” Indonesia adalah Pancasila (way of life/orientasi nilai), sedangkan ”rumah” Indonesia adalah UUD 1945.

Namun, kita kini semakin kehilangan Indonesia dalam konteks ideologis dan konstitusional. Indonesia telah menjelma menjadi negeri yang berada di dunia antah-berantah seperti dalam jagat fiksi.

Sebagai ”alamat” dan ”rumah”, Pancasila dan UUD 1945 semakin terasa mengabur dalam kehidupan. Jika dicari, kita akan menemukan mereka ”digembok” di dalam ruang ritual kebangsaan yang sunyi dan terasing. Artinya, Pancasila dan UUD 1945 hanya muncul dalam ritus-ritus peneguhan kebangsaan yang dilakukan secara retorik.

Anak yatim piatu

Para penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif ) masih merasa perlu mengeksploitasi secara retorik Pancasila dan UUD 1945 agar mendapatkan legitimasi dari rakyat. Sementara break-down dan praksis kerja mereka cenderung tidak berwatak solider terhadap rakyat, seperti yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945, melainkan lebih membela kepentingan kekuatan kapital dan pasar bebas yang berprinsip ”hanya yang kuatlah yang bertahan dan berkuasa”. Ini terkait dengan perubahan paradigma kehidupan bangsa. Pratahun 1965, kehidupan masyarakat kita bercorak populis, sipil, dan anti-modal asing; sedangkan pasca-1965, masyarakat kita bercorak elitis, militeristik, dan pro modal asing (Baskara T Wardaya: 2009).

Negara pun akhirnya tidak sepenuhnya menjadi lembaga pelayanan bagi warganya, melainkan cenderung menjadi ”agen” kekuatan kapital. Adapun para penyelenggara negara cenderung menjadi ”kumpulan panitia” pasar bebas. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan tidak merespons problem warga negara yang real dan urgen, melainkan lebih melayani kepentingan kapital dan pasar global. Rakyat pun dikategorikan sebagai bagian dari pasar global yang sah untuk dieksploitasi secara ekonomis dan kultural. Rakyat tidak dipahami sebagai komunitas besar yang melekat pada eksistensi negara dan berhak dilindungi.

Rakyat pun menjelma menjadi anak yatim-piatu. Tanpa diberi modal dan kemampuan secara optimal oleh negara, rakyat dipaksa bertarung melawan kebengisan kekuatan dan kuasa modal. Negara tega membiarkan rakyatnya menjadi ”bangsa konsumen”, padahal negara semestinya mendorong bangsanya menjadi bangsa produsen yang kreatif dan mandiri.

Negara cenderung ”tidak merasa bersalah” ketika berhasil menciptakan lapangan kerja bagi jutaan tenaga outsourcing yang upah harian/mingguan/bulanannya tak cukup untuk hidup minimum. Negara juga menciptakan disorientasi kultural melalui mesin-mesin dan industri budaya massa sehingga rakyat pun lahir sebagai kumpulan manusia yang seragam, baik dalam budaya ide, budaya perilaku/ekspresi, maupun dalam budaya material.

Persoalan sosial, ekonomi, dan budaya yang menelan rakyat cenderung ditutup dengan karpet merah bernama tafsir statistik yang menarasikan kesuksesan negara dalam mengatasi kemiskinan, memberantas korupsi, menekan angka pengangguran, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Merasa sebagai hero, berbagai kesuksesan itu diucapkan secara fasih dan lantang oleh aktor-aktor politik istana.

Namun, narasi tafsir statistik itu menjadi ironi getir ketika berhadapan dengan realitas sosial, ekonomi, dan budaya yang day to day dihadapi rakyat. Rakyat menggigil dan gemetar ditelan kehidupan berbiaya tinggi yang serba pasti dan tak bisa ditawar; bahkan hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Rakyat pun dipaksa untuk kreatif, misalnya dengan menyulap nasi basi menjadi nasi aking (kering). Kepedihan itu terasa semakin menyayat ketika negara justru royal membelanjakan anggarannya dengan membeli pesawat untuk presiden, mobil mewah untuk pejabat, dan kebutuhan lain yang tak urgen.

Pasar pusat legitimasi

Ketika negara off dari tanggung jawab ideologis dan konstitusional, pusat dinamika masyarakat berada di tangan kuasa modal dan kuasa pasar. Sampai-sampai, pusat perbelanjaan yang dinyatakan melakukan praktik monopoli oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) malah dimenangkan kasusnya oleh pengadilan, tak lama setelah petinggi negara ini bertemu presiden direktur (CEO) perusahaan itu di Paris. Modal bukan lagi bermakna sebagai kapital an sich, tetapi menjelma menjadi ”panglima” yang menentukan seluruh dinamika negara dan masyarakat. Begitu pula dengan pasar yang tidak sekadar berarti ”kesepakatan jual-beli”, melainkan sudah menjadi pusat legitimasi bagi kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Siapa pun yang tidak tunduk dan patuh kepada kuasa modal dan pasar, dimohon secara tidak hormat untuk tersingkir dan termarjinalisasi. Jangan heran jika para pemimpin yang lahir kemudian adalah mereka yang mampu kompromi dengan kuasa modal dan pasar. Semua harus ”dibeli”, termasuk jabatan presiden, menteri, anggota DPR, jaksa, hakim, gubernur, bupati/wali kota, dan lainnya. Pemimpin-pemimpin yang lahir pun tidak lagi dari rahim sosial-kultural: integritas, kapabilitas, dan komitmen. Pragmatisme yang digerakkan kuasa modal dan pasar telah mendisfungsionalisasi rahim itu.

Kuasa modal dan pasar melahirkan kehidupan bernegara yang serba artifisial dan tanpa visi profetik (membebaskan dan mengangkat eksistensi manusia). Rakyat pun memasuki ranah simulacra atau dunia seolah-olah. Seolah-olah punya pemimpin, seolah-olah punya wakil rakyat, seolah-olah hidup sejahtera, seolah-olah demokratis, seolah-olah mendapatkan keadilan, bahkan seolah-olah punya negara yang melindungi.

Dunia simulacra ini dibagun oleh negara, kuasa kapital, dan pasar melalui budaya simbolik yang merepresentasikan impian kolektif rakyat. Rakyat dipisahkan dari kehidupan yang real dan otentik agar tidak kritis terhadap realitas semu yang mengepungnya, termasuk mempertanyakan di mana sesungguhnya ”alamat” Indonesia, seperti puisi bocah tadi. Kita pun semakin kehilangan Indonesia yang sangat kita cintai.

INDRA TRANGGONO Pemerhati Budaya, Bermukim di Yogyakarta

KOMPAS, Kamis, 4 Maret 2010 | 05:44 WIB