Redefinisi Kelembagaan KPPU Sangat Penting Dilakukan
Saat ini masih terdapat salah interprestasi terkait kelembagaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sehingga tidak jarang KPPU dianggap lembaga super power atau terpisah dari sistem pemerintahan yang ada. Hal ini berimbas pada status kelembagaan KPPU yang belum terselesaikan dan tingginya perputaran pegawai di lembaga pengawas tersebut. Untuk itu redefinisi kelembagaan atas KPPU sangat penting dilakukan. Berbagai usaha yang telah dilakukan KPPU untuk memperbaiki kondisi yang ada, termasuk melalui proses perubahan UU No 5 Tahun 1999 yang telah dilakukan cukup lama namun belum membuahkan hasil positif. Berbagai pernyataan tersebut disampaikan Ketua KPPU, Kurnia Toha, PhD. dalam membuka Webinar Nasional bertemakan “Redefinisi Kelembagaan KPPU” hari ini (15/7) yang menghadirkan berbagai pakar di bidangnya seperti Dr. Hamdan Zoelva, SH. MH (Pakar Hukum Tata Negara), Sigit Pamungkas, MA. (Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden), Prof. Ahmad Erani Yustika, PhD. (Guru Besar FEB Universitas Brawijaya), dan Wakil Ketua KPPU, Ukay Karyadi, SE., ME.
Sebagai lembaga bentukan legislatif dari hasil reformasi dua dekade lalu, KPPU telah berhasil menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat dengan baik. Namun sayangnya regulasi penopang kelembagaan dan penegakan hukum persaingan tidak lagi optimal dalam menghadapi perubahan. Banyak poin di dalamnya yang patut diubah agar dapat beradaptasi, terutama dengan kondisi perekonomian dan iklim bisnis saat ini.
Hamdan Zoelva yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013-2015 menyampaikan bahwa, kedudukan KPPU pada hakikatnya adalah sebagai lembaga Negara, dimana dasar pembentukan bersumber pada Undang-Undang sebagai penjabaran lebih lanjut dari UUD 1945. Oleh karena itu, independensi KPPU merupakan sifat yang harus ada dalam setiap pelaksanaan tugas dan kewenanganya yang tidak dapat dicampuri oleh lembaga atau pihak manapun guna menjamin obyektifitas pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut. Hal yang juga perlu menjadi perhatian khusus dalam independensi KPPU adalah mengenai pola rekrutmen yang akuntabeI dan objektif, dalam arti, lepas dari tekanan politik dan pengaruh kepentingan politik manapun serta bebas dari tugas-tugas fungsi titipan lembaga manapun yang merancukan peran utamanya atau tujuan yang diembannya sebagai lembaga negara penunjang. Selain itu, KPPU juga seharusnya ada dalam konstitusi yaitu untuk menjamin tegaknya ekonomi yang berdasarkan konstitusi. Demokrasi ekonomi atau demokrasi berkeadilan dimana pengawasnya adalah KPPU. Menurutnya penguatan KPPU merupakan keharusan terutama pada kewenangan dan pelaksanaan tugas terkait proses penegakan hukum.
Terkait dengan demokrasi ekonomi, Prof. Ahmad Erani Yustika turut menyampaikan pandangannya bagaimana KPPU dalam ekosistem perekonomian nasional. Berbagai kajian terkait hal tersebut telah banyak dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa indeks demokrasi Indonesia dinilai masih rendah terhadap ekonomi. Hal ini dikarenakan indikator-indikator pada area ekonomi, baik otonomi, persaingan, pluralisasi, dan solidaritas masih belum diperhatikan secara optimal. Dalam hal otonomi masih terjadi intervensi politik dalam setiap pengambilan keputusan ekonomi. Kebijakan penentuan standar upah minimum (UM) masih diintervensi oleh pihak-pihak tertentu sehingga sering terjadi tarik ulur penentuan upah minimum. Pada variabel persaingan masih terdapat kebijakan yang cenderung memunculkan perilaku mencari rente. Selain itu, korupsi juga masih menjadi faktor penghambat bisnis di Indonesia. Agenda demokrasi ekonomi merupakan hal yang sangat penting dan dalam hal ini KPPU diyakini mampu menjadi lokomotif untuk mewujudkan agenda demokrasi ekonomi tersebut. Konsentrasi industri menjadi medan pertempuran KPPU dalam jangka pendek-menengah,
Sejalan dengan hal tersebut Ukay Karyadi menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebenarnya sangat menekankan pada asas demokrasi ekonomi, dan di sisi lain juga mulai nampak bahwa Pemerintah turut menempatkan kebijakan persaingan usaha pada tataran kebijakan sektoral. Sehingga saat ini KPPU secara aktif melakukan advokasi kebijakan agar prinsip persaingan usaha dapat di adopsi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Terkait dengan redefinisi kelembagaan KPPU, Ukay menyampaikan bahwa saat ini wewenang KPPU dinilai masih sangat kurang sehingga seringkali kesulitan dalam melakukan proses penegakan hukum terutama dalam mengumpulkan alat bukti. Oleh karena itu, apabila Pemerintah menginginkan amanat Undang-Undang tercapai maka seharusnya KPPU diberi power yang lebih kuat termasuk dalam hal status kelembagaan yang lebih jelas, dukungan anggaran, jumlah anggota komisi, jumlah dan status pegawai, serta mengubah KPPU menjadi Lembaga Negara dengan status ASN.
Namun, dalam kaitan KPPU menjadi lembaga negara maupun ASN maka perlu dipertimbangkan pula mengenai hambatan-hambatan yang sekiranya dapat mengganggu tugas dan kewenangan KPPU nantinya. Sigit Pamungkas menyatakan bahwa dengan kondisi saat ini pun KPPU telah memiliki kedudukan yang bahkan lebih kuat dari lembaga lain. KPPU memiliki derajat konstitusional atau constitutional important meskipun hal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit. Mengenai redefinisi kelembagaan, sebenarnya langkah ini telah dimulai pada tahun 2008 dimana KPPU memiliki independensi anggaran dan tidak lagi berada di bawah Kementerian Perdagangan dan Perindustrian. Menutup paparannya, menurut Sigit bahwa dukungan kesekretaritan dalam hal ini dapat diupayakan melalui beberapa alternatif yaitu selain melakukan revisi undang-undang, dan mendefinisikan tafsir melalui Mahkamah Konstitusi, maka langkah lainnya dapat ditempuh dengan mengajukan Judicial Review.