Mengulik Persaingan Usaha di Platform Online
Jakarta (16/2) – Sebagai upaya meningkatkan kesadaran publik atas isu-isu persaingan usaha di sektor platform online Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelenggarakan diskusi publik virtual dengan tema “Persaingan Usaha di Platform Online”. Diskusi yang dibuka langsung oleh Ketua KPPU Kodrat Wibowo ini turut dihadiri oleh beberapa Pembicara yang mewakili berbagai perspektif, sebut saja Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Semuel Abrijani Pangerapan, Head of Public Policy and Government Relations Bukalapak Even Alex Chandra, Pengamat Ekonomi dan Persaingan Usaha M. Nawir Messi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Anna Amalyah Agus, dan Direktur Ekonomi KPPU M. Zulfirmansyah.
Penggunaan platform digital telah memasyarakat di Indonesia, sejalan dengan tingginya jumlah pengguna internet. Dari data Kementerian Kominfo, pengguna internet di Indonesia sampai dengan kuartal II/2020 mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari populasi. Jumlah ini meningkat sekitar 25,5 juta pengguna dibandingkan tahun lalu. Salah satu media sosial yang sangat tinggi penggunaannya di Indonesia tahun lalu adalah Tik Tok, yang turut digunakan untuk kegiatan pemasaran. Peningkatan ini turut berdampak pada model persaingan antar pelaku usaha dan proses penegakan hukum persaingan yang dibutuhkan atasnya.
Tidak dipungkiri bahwa ke depan, bentuk-bentuk pelanggaran persaingan akan semakin kasat mata, karena perilakunya semakin tersembunyi dalam penggunaan data, algoritma, dan aturan-aturan yang ada. Sehingga akan lebih sulit bagi otoritas persaingan dalam menemukan dan menentukan apakah suatu perilaku tersebut melanggar. KPPU ke depan akan terus berinovasi dan membuat berbagai terobosan baru dalam penegakan hukum atau perbaikan kebijakan persaingan di sektor platform online. Tidak tertutup kemungkinan, pedoman atas platform online seperti negara lain dapat diadopsi oleh KPPU dengan menggunakan undang-undang yang ada. Berbagai pernyataan tersebut disampaikan Kodrat, dalam membuka kegiatan.
Sebagai Pembicara pertama, dari perspektif regulator, Semuel menyampaikan bahwa regulasi diperlukan untuk memberikan pedoman dan norma bagi stakeholders dalam menemukan titik keseimbangan pada beberapa aspek seperti pelindungan terhadap kebebasan berekspresi di ruang digital dengan tetap mengendalikan konten yang beredar di ruang digital, pelindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang tetap menjamin distribusi penggunaan materi secara adil di ruang digital, mewujudkan penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik yang andal, aman, terpercaya dan bertanggung jawab (trusted), meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu PSE, mendorong masyarakat menjadi lebih cerdas dan hati-hati untuk melakukan transaksi melalui informasi tanda daftar PSE, membangun pemetaan ekosistem Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Terkait tinjauan persaingan usaha, Anna juga menyampaikan filosofi pertama bahwa persaingan usaha seharusnya memberikan ruang kepada seluruh pihak untuk dapat melakukan usaha, tidak ada sebuah hambatan yang berarti sehingga yang bisa bermain disana hanya terbatas. Namun, saat ini belum adanya regulasi yang spesifik dari pemerintah. Sementara dari perpektif Pelaku Usaha pada Sektor Digital, Even Alex Chandra, menyampaikan bahwa online platform di Indonesia menanggung beban lebih berat karena apa yang berlaku di offline juga berlaku di online. Sehingga menurutnya, Pemerintah harus mengambil sikap untuk menyediakan equal treatment bagi pelaku usaha lokal dan asing.
Zulfirmansyah juga menyampaikan bahwa tren ekonomi digital pasti akan meningkat. Regulasi yang mengatur tentang persaingan ini yang mengatur sebenarnya perilaku dari pelaku usaha. Jadi stakeholder di regulasi ini sebenarnya adalah pelaku usaha sendiri. Banyak aturan yang belum masuk ke sisi-sisi persaingan. Big data harusnya lebih diperhatikan kepada aspek persaingan.
Tahun lalu Direktorat Ekonomi sudah membuat suatu kajian yang mana salah satunya adalah untuk memperhatikan data-data transaksi sehingga nantinya data-data ini akan digunakan untuk pengawasan di persaingan. Ini hal yang menarik yang harus segera dibentuk oleh regulator untuk mengawasi persaingan. KPPU sudah berusaha untuk melakukan beberapa revisi amandemen Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tapi sebagaimana diketahui bahwa satu dekade ini KPPU “belum berhasil’’ meng-gol-kan amandemen Undang-Undang ini. Jika dilihat, perlu untuk mendefinisikan kembali ekonomi digital di prinsip persaingan usaha sehat.
Dari perspektif Pengamat Ekonomi dan Persaingan Usaha, Nawir berpendapat bahwa di tengah kontribusi nyata bisnis online platform terhadap perekonomian, terdapat potensi pelanggaran terhadap hukum persaingan dalam berbagai bentuk yaitu abuse of dominance cartel dan tacit collusion, exclusionary – discriminasi, predatory pricing. Bisnis online adalah bisnis yang kompleks, perlu pemahaman secara akurat proses-proses bisnisnya. KPPU mungkin melakukan penyesuaian-penyesuaian instrumen analisis yang lebih sesuai dengan karakter online bisnis.
Ke depan, KPPU akan terus berinovasi dan membuat berbagai terobosan baru dalam penegakan hukum atau perbaikan kebijakan persaingan di sektor platform online. Tidak tertutup kemungkinan, pedoman atas platform online seperti negara lain tersebut dapat diadopsi oleh KPPU dengan menggunakan Undang-Undang yang ada. Melalui diskusi ini, KPPU mengharapkan dukungan berbagai stakeholder untuk dapat bersama-sama mengembangkan kebijakan di platform online.