KPPU Cermati Kebijakan Pariwisata Bali
Bali (19/3) – Mencermati kebijakan Pemerintah Provinsi Bali melalui Perda No. 5/2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali, KPPU menilai perlu adanya kehati-hatian dalam menerapkan kebijakan dimaksud.
Hal ini terungkap dalam “Sinkronisasi Regulasi Penyelenggaraan Pariwisata Bali Secara Komprehensif Dalam Perspektif Persaingan Usaha Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif” yang diselenggarakan Direktorat Regulasi, Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tanggal 19 Maret 2021 di Bali.
Dalam kegiatan yang merupakan lanjutan dari diskusi yang digagas oleh Kanwil IV KPPU sebelumnya ini, menghadirkan 5 pembicara, yaitu Dinni Melanie selaku Komisioner KPPU, Dendy R. Sutrisno selaku Kepala Kanwil IV KPPU, Sabartua Tampubolon selaku Direktur Regulasi Kementerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif, Putu Astawa selaku Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali dan Hendar dari Dinas Pariwisata Kota Denpasar.
Dinni menjelaskan bahwa disamping mengapresiasi langkah Pemerintah Daerah Bali melalui Perda No. 5/2020 untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha, KPPU juga mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam mengimplementasikan perda dimaksud. “Kami apresiasi langkah Pemda Bali dalam menata kembali kepariwisataan Bali, besar harapan kami perda ini dapat memfasilitasi pulihnya pariwisata Bali, oleh karena itu perlu sama-sama kita kawal implementasinya agar tidak justru kontra produktif bagi pemulihan ekonomi di sektor pariwisata itu sendiri”, jelas Dinni.
Analisa awal KPPU terhadap Perda Bali No. 5/2020 terdapat beberapa pasal yang berpotensi menimbulkan polemik bagi dunia usaha pariwisata Bali, antara lain Pasal 26 mengenai Portal Satu Pintu Pariwisata Bali, Pasal 27 mengenai Pendaftaran dan Kemitraan, dan Pasal 28 mengenai Kelembagaan.
Menurut Dinni, pasal mengenai portal satu pintu sebenarnya memiliki semangat yang baik untuk mengintegrasikan seluruh stakeholder pariwisata di Bali. Namun disisi lain berpotensi menimbulkan berbagai kewajiban diantaranya penyampaian data dan informasi pelaku usaha kepada pelaku usaha tertentu atau asosiasi, serta pengenaan biaya tertentu yang justru dapat menjadi disinsentif bagi pelaku usaha pariwisata Bali.
Kerjasama kemitraan dengan portal satu pintu pun perlu dipastikan tidak memberi ruang terjadinya penyalahgunaan posisi dominan dalam penentuan syarat-syarat perdagangan.
Hadirnya perusahaan umum daerah dalam skema pariwisata digital Bali juga diharapkan tidak mendistorsi pasar terlebih bila terdapat pelimpahan beberapa kewenangan regulator.
“Memperhatikan beberapa isu penting tersebut, maka diharapkan pemda Bali dapat mempertimbangkan penggunaan analisa kebijakan persaingan usaha serta prinsip kemitraan yang sehat dalam menyusun petunjuk teknis Perda Bali No. 5/2020”, tutup Dinni.