Kemendag Kembali Menjadi Saksi dalam Sidang Migor
Jakarta (3/1) – KPPU mengawali awal tahun 2023 dengan lanjutan persidangan majelis atas kasus minyak goreng (Perkara Nomor 15/KPPU-I/2022). Kali ini, Investigator Penuntutan KPPU menghadirkan saksi dari Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag). Saksi tersebut dihadirkan untuk mendalami kebijakan-kebijakan Kemendag, terutama kaitannya dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng. Seperti pada sidang-sidang sebelumnya, sidang dilaksanakan secara luring, sementara Saksi hadir secara daring dalam persidangan.
Dalam persidangan, Saksi menyampaikan bahwa selama periode Januari–Mei 2022 terdapat beberapa peraturan Menteri Perdagangan (Mendag) yang dikeluarkan terkait dengan minyak goreng. Terbitnya kebijakan-kebijakan Mendag tersebut dilatarbelakangi oleh adanya arahan Presiden pada bulan Januari kepada Kemendag untuk menyediakan minyak goreng sesuai kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan juga merupakan respon cepat dari Kemendag dalam menyikapi adanya kenaikan harga minyak goreng yang makin tinggi di pasaran sejak November 2021 dari Rp16 ribuan per liter menjadi Rp18 ribuan per liter dan meningkat di bulan Desember 2021 menjadi Rp20 ribuan per liter. Data tersebut diperoleh berdasarkan pantauan Kemendag di 216 pasar di 90 kabupaten kota di 34 provinsi melalui Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP).
Dalam proses penyusunan kebijakan, dijelaskan bahwa Kemendag melibatkan pelaku usaha minyak goreng yang tergabung melalui asosiasi, diantaranya Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI). Salah satu kesepakatan dalam rapat yang melibatkan pelaku usaha minyak goreng tersebut berupa program penyediaan 11 juta liter minyak goreng. Namun pada realisasinya, program tersebut tidak berjalan dengan baik dan tidak terpenuhi.
Dasar penetapan Harga Eceran Terendah (HET) sebesar Rp14.000 adalah harga yang ditentukan berdasarkan hasil pembahasan dengan asosiasi berdasarkan data historis pada Januari 2020-Agustus 2021. Sementara itu, harga keekonomian yang diformulasikan dengan memperhatikan harga pokok produksi, biaya kemasan dan harga distribusi adalah sebesar Rp17.260 per liternya. Artinya, terdapat selisih antara harga keekonomian dengan penerapan HET. Selisih tersebut akan dilakukan penggantian oleh pemerintah melalui skema pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melalui rafaksi.
Menurut data Kemendag, kenaikan harga minyak goreng ketika diterapkannya kebijakan HET tidak menyebabkan inflasi. Bahkan sebelum diterapkannya HET, pada bulan November – Desember 2021 industri minyak goreng masih berpengaruh terhadap tingkat inflasi meskipun angkanya tidak terlalu besar.