KPPU Dorong Praktik Bisnis Sehat dalam Industri Karet
Medan (25/9) – Kapasitas terpasang pabrik pengolahan karet alam di Sumatera Utara saat ini tidak didukung oleh ketersediaan bahan olah karet (BOKAR) yang cukup dari Sumatera Utara. Bahkan dari tahun ke tahun jumlah BOKAR yang dapat dipasok dari perkebunan yang ada di Sumatera Utara semakin berkurang, hal ini menyebabkan kenaikan harga-harga pembelian lokal yang dipicu oleh kompetisi dalam mendapatkan pasokan. Namun bagaimana iklim kompetisi dapat tetap berjalan sehat menjadi isu utama yang diangkat oleh KPPU Kanwil I bersama Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (GAPKINDO) Sumatera Utara (Sumut) dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “menjalankan praktik usaha bisnis yang sehat dalam industri karet”.
Kegiatan FGD yang dihelat di Hotel Four Point Kota Medan menghadirkan Kepala KPPU Kanwil I, Ridho Pamungkas sebagai narasumber dengan dipandu oleh Edy Irwansyah, Sekretaris Executive GAPKINDO Sumut selaku moderator dan dihadiri seluruh anggota GAPKINDO cabang Sumut yang merupakan pelaku usaha yang bergerak di industri pengolahan karet, termasuk di dalamnya terdapat BUMN perkebunan seperti PTPN III dan Socfindo.
Dalam sambutannya, Jentono Chandra yang mewakili dari Ketua GAPKINDO Cabang Sumut menyampaikan harapannya agar kegiatan FGD ini dapat memberikan pemahaman dan pencerahan kepada para anggota GAPKINDO terkait dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 serta fungsi dan tugas KPPU, sehingga pelaku usaha dapat menjalankan bisnisnya secara sehat dan tidak melanggar Undang-undang persaingan usaha.
Dalam FGD, mengemuka keluhan dari pelaku usaha di industri karet Sumut terkait adanya pabrik yang berani membeli karet dengan harga tinggi, hingga menguasai pembelian dan menyebabkan pabrik lain tidak memperoleh pasokan. Hal tersebut dapat memicu semakin banyak pabrik pengolahan karet yang tutup. Sejak 2016 hingga kini, sudah ada 9 pabrik di Sumut yang tutup. Hal lain yang terungkap adalah perhatian pemerintah yang dirasa semakin berkurang terhadap industri karet, dari hulu ke hilir, sehingga memperbanyak alih fungsi lahan dari karet ke kelapa sawit.
Dalam paparannya, Ridho memberikan contoh kasus regulasi terkait pengolahan dan pemasaran BOKAR di Provinsi Jambi dimana KPPU memberikan saran kepada pemerintah Jambi untuk tidak memberikan kewenangan kepada asosiasi dalam menentukan harga indikasi karet.
”Penyampaian harga indikasi BOKAR oleh GAPKINDO dapat memfasilitasi kesepakatan harga pembelian BOKAR oleh pabrik pengolahan karet. Sementara masing-masing pabrik pengolahan karet memiliki kendala biaya yang berbeda. Masukan informasi harga dari satu pihak saja, dalam hal ini melalui asosiasi, tidak akan menghasilkan harga yang adil dan proposional untuk pihak lain yaitu petani penghasil karet,” ujar Ridho.
Terkait dengan adanya harga pembelian karet yang tinggi oleh pelaku usaha, Ridho menekankan bahwa hal tersebut belum dapat disimpulkan sebagai persaingan usaha tidak sehat. Dikatakan bahwa perusahaan dengan kapasitas produksi yang besar, akan semakin efisien dan produktif, sehingga mereka dapat membeli karet dengan harga yang lebih tinggi dibanding pesaingnya, namun dapat menjual karet olahan dengan harga yang kompetitif.
”Yang dilarang adalah perusahan besar tersebut melakukan praktik predatory pricing, yakni sengaja membeli Bokar di harga tinggi dalam rangka untuk menyingkirkan pesaingnya. Untuk itu harus dikaji kemampuan modal perusahaan untuk melakukan predatory pricing, kapasitas produksi untuk menguasai pembelian dan perhitungan biaya produksinya,” ujar Ridho.
Selanjutnya, Ridho mengingatkan bahwa meskipun terjadi “perang harga”, namun terdapat larangan bagi asosiasi untuk mengintervensi pasar dengan membuat kesepakatan harga di dalam asosiasi.
“Kewenangan menetapkan harga pembelian ada di pemerintah, bukan pelaku usaha. Namun pemerintah juga harus berhati-hati, jangan nanti membuat kebijakan untuk melindungi pabrik yang tidak efisien dan menghambat perkembangan teknologi. Dukungan pemerintah sebaiknya untuk mendorong produktivitas perkebunan karet atau bantuan permodalan bagi usaha kecil menengah, bukan mengatur harga pasar,” lanjut Ridho.
Menutup sesi tanya jawab, Ridho sangat mengapresiasi inisiatif dari Edy Irwansyah dan pengurus GAPKINDO yang lain untuk menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas bagi anggotanya. Bagi KPPU, internalisasi nilai-nilai persaingan usaha kepada pelaku usaha sangat penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran persaingan usaha.
“KPPU sangat terbuka dalam menerima saran, masukan, konsultasi ataupun laporan dari pelaku usaha terkait persaingan usaha. Kompetisi yang sehat akan meningkatkan kemampuan dan daya saing perusahaan, sehingga dapat memajukan industri karet kita ke depan,” pungkas Ridho.