FGD Penyelenggaraan Ferry Rute Batam Singapura: KPPU Kumpulkan Pihak Terkait

FGD Penyelenggaraan Ferry Rute Batam Singapura: KPPU Kumpulkan Pihak Terkait

Batam (11/6) – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencoba mengurai permasalahan penyebab kenaikan tarif tiket penyeberangan ferry rute Batam-Singapura dan masukan untuk mengatasi kondisi ini dengan mengumpulkan berbagai pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan ferry Batam-Singapura. Dalam diskusi kelompok terpimpin (focus group discussion/FGD) bertema “Penyelenggaraan Ferry Batam-Singapura” dipimpin oleh Anggota KPPU Eugenia Mardanugraha yang dimoderatori oleh Direktur Kebijakan Persaingan Lelyana Mayasari dengan mengumpulkan stakeholder terkait diantaranya Badan Pengusahaan Batam, Pemprov Kepri, Pemko Batam, Badan Promosi Pariwisata, Masyarakat Transportasi Indonesia, Kadin, GAPASDAP, INSA, ASITA, Operator Fast Ferry Batam-Singapura, PT ASDP Indonesia, PT PELNI, PT Batam Bahari Sejahtera, dan PT Maju Global Indonesia (MV Putri Anggraeni).

Sebagaimana diketahui, KPPU menemukan tarif tiket ferry rute Batam-Singapura mengalami kenaikan yang signifikan sejak tahun 2022 hingga saat ini, semula Rp270.000 – Rp450.000 untuk perjalanan pulang pergi, melonjak menjadi Rp800.000 – Rp900.000. Anggota KPPU Eugenia Mardanugraha menuturkan bahwa KPPU sudah melakukan pengecekan harga ferry penyeberangan Batam-Singapura secara langsung di Harbour Bay, Batam Center dan Pelabuhan Sekupang. Dari hasil survey ditemukan tarif yang ditetapkan operator untuk sekali perjalanan adalah di Rp380.000 – Rp400.000 (Indonesia Passport) dan Rp475.000 – Rp485.000 (All Passport) sementara tiket tarif perjalanan untuk pulang pergi sebesar Rp760.000 (Indonesia Passport) dan Rp910.000-915.000 (All Pasport). Dari data tersebut KPPU menemukan adanya perbedaan tarif yang ditetapkan oleh agen pelayaran ferry berdasarkan penggunaan passpornya dan semua operator sama-sama menetapkan harga yang sama untuk perjalanan pulang pergi menggunakan Indonesia Passport.

Jika dibandingkan berapa operator yang melayani rute dengan jarak tempuh yang lebih jauh, untuk penyeberangan untuk sekali perjalanan Batam-Stulang Laut adalah Rp325.00-Rp355.000 dan tarif perjalanan untuk pulang pergi sebesar Rp485.000-Rp545.000. Harga untuk rute ini sangat bervariasi dan kompetitif padahal waktu tempuh dua kali lipat daripada rute Batam Singapura. Melalui forum ini, kami menghimpun informasi dan mengidentifikasi penyebab tingginya tarif dan faktor-faktor yang menjadi hambatan masuk pelaku usaha untuk berperan dalam bisnis ferry Batam-Singapura.

Dalam diskusi, Kepala Dinas Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Guntur Sakti menyampaikan bahwa mahalnya harga tiket Ferry Internasional Batam tujuan Singapura dan penerapan Visa On Arrival (VOA) menjadi salah satu penghambat pariwisata di Provinsi Kepulauan Riau. Bukan tanpa sebab, tarif tiket kapal ferry yang terus naik hingga di angka Rp760 ribu dinilai memberatkan calon wisatawan untuk berlibur ke Batam. Imbasnya, target 3 juta kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) jauh dari kata tercapai. Semua pelaku ekonomi di sektor pariwisata merasakan dampaknya, begitu juga para wisawatan dari Singapura dan Malaysia yang hendak berlibur ke Batam. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa melumpuhkan sektor pariwisata Batam diantaranya jumlah kunjungan, hunian kamar hotel dan pusat perbelanjaan di Batam.

Lebih lanjut Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Batam, Jadi Rajagukguk menyampaikan sebagai wilayah kepulauan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, lalu lintas barang dan penumpang menjadi denyut perekonomian di Kota Batam dan Kepri. Melihat multiplier effect yang dirasakan, Pemerintah harus segera mengambil langkah cepat untuk mengatur regulasi kebijakan yang mengatur tarif batas atas dan tarif batas bawah khusus rute Batam–Singapura dan Malaysia. Selain itu, Kadin menilai belum ada keterbukaan dari operator kapal terkait biaya operasional pelayaran, termasuk bahan bakar, yang berdampak pada harga tiket. Pihaknya mendorong agar operator memberikan penjelasan rinci terkait komponen-komponen tarif dalam pelayaran internasional tersebut agar dapat dicarikan solusinya.

Di sisi lain, operator Majestic Fast Ferry dan Batam Fast menyampaikan bahwa tingginya harga tiket ini dipicu oleh komponen biaya yang dikeluarkan meliputi biaya operasional sampai administrasi. Penetapan harga tiket jauh lebih tinggi untuk menyesuaikan kenaikan harga minyak dunia dan menutupi kerugian di masa pandemic covid 19. Sementara komponen administrasi yang dikeluarkan diantaranya kenaikan seaporttax Singapura menjadi S$10, kenaikan seaporttax Indonesia menjadi Rp70.000 dan agent fee pelayaran batam sebesar Rp60.000 belum termasuk beban operasional di Singapura, minyak dan depresiasi.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Kepri Syaiful menyampaikan bahwa saat ini tidak ada regulasi yang mengatur tarif batas atas dan batas bawah untuk moda penyeberangan laut kapal feri kelas eksekutif. Untuk itu salah satu langkah yang dapat dilakukan diantaranya KPPU dapat melakukan evaluasi terhadap komponen biaya tarif tiket penyeberangan Batam-Singapura dan meminta Kementerian Perhubungan mengatur tarif penyeberangan ideal untuk menjamin keberlangsungan perusahaan operator dan keselamatan penumpang.

Mengakhiri diskusi, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) I Ridho Pamungkas menyampaikan informasi perkembangan terkait dugaan kartel harga ferry penyeberangan Batam-Singapura. Sejak penyelidikan dilakukan mulai tanggal 15 September 2023, hingga saat ini Satuan Tugas Penyelidikan telah mengirimkan permintaan data dan dokumen secara tertulis ke empat operator ferry diantaranya Batamfast, Horizon, Sindo Fery, dan Majestic, namun hanya dua operator yang kooperatif menyampaikan data kepada Satgas. KPPU juga telah meminta keterangan terhadap Regulator yang berkaitan dengan ijin penyeberangan ferry Batam-Singapura dan pengelolaan pelabuhan. Berbagai informasi tersebut masih dikumpulkan dan diolah oleh Investigator. KPPU meminta semua pihak terkait kooperatif, sehingga tidak diperlukan bantuan penyidik dan atau penyerahan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan atas ketidakkoperatifan tersebut.

Lebih lanjut Ridho menjelaskan, indikasi harga yang paralel (price parallelism) sering dianggap sebagai tindakan yang dilakukan secara bersama-sama secara kolusif untuk menentukan harga (price fixing). Dalam praktiknya, terlalu banyak faktor yang menyebabkan terjadinya parallelism harga, yang terjadi justru karena pasarnya bersaing secara kompetitif. Hal ini menjadi tantangan bagi KPPU untuk membuktikan adanya pelanggaran kartel yang menunjukan adanya bukti langsung dan bukti tidak langsung. Dalam hal bukti tidak langsung, bila diungkapkan hanya satu atau sedikit tanpa disertai uji atau analisis yang tepat, maka pembuktian mengenai pelanggaran kartel menjadi tidak valid.

Proses penyelidikan tentunya akan lebih cepat apabila semua pihak kooperatif memenuhi panggilan dan menyerahkan surat dan atau dokumen yang diminta. Oleh karena itu, KPPU meminta semua pihak yang belum memenuhi panggilan untuk memberikan keterangan, maupun belum menyampaikan surat/dokumen yang diminta selama proses penyelidikan, agar menunjukkan sikap kooperatif. Sehingga KPPU tidak perlu meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pihak yang tidak kooperatif, atau menyerahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999.